KIDUNG MALAM

KIDUNG MALAM
0leh Kang Bari
2 Oktober 2017





“ Demuk terakhir...demuk terkhir...,” seru kenek angkutan desa yang membawaku dari terminal Tulung Agung.
Aku segera mengambil tas rangsel, melangkah turun dari mobil. Matahari sudah di atas Gunung Banon sinarnya semakin redup. Aku mampir disebuah warung kopi,  menanyakan kendaraan yang bisa mengantarkan ke Dusun Krajan.
“ Di sini gak ada kendaraan Mas, satu - satunya ojek Kang Bejo . orangnya pergi ke kota ,”
Kapan pulang nya Bu,” tanyaku tidak sabar.
“ Kayaknya menginap,” jawab pemilik warung.
Haruskah aku menginap dimenunggu tukang ojek atau harus berjalan kaki. Kuputar otakku untuk mengambil sikap, ntara menginap dan berjalan kaki. Akhirnya kuputuskan harus berjalan kaki.

Matahari  perlahan  masuk keperaduan, kelelawar mengepakkan sayap menyusuri kegelapan senja. Gerimis mengiringi langkahku menapaki jalanan sepi  dihamparan kebun ubi. Berbekal sebongkah harapan , menggelayut di anganku. Suara petir bersahutan tak mengurangi tekadku. Mantel hujan membungkus tubuh menemani langkah menembus dinginya petang. Jalanan sedikit mendaki dan licin, tas rangsel di pundakku tidak terasa berat.

Tiga puluh menit langkahku terhenti , di depan sungai banjir jembatan penghubung terendam air . Aku mencari jalan alternatif berbelok kekanan menyusuri sungai mencari jembatan yang bisa dilalui. Sepengetahuanku dulu ada jembatan lagi dibagian ulu sungai ini. Alhamdulillah ternyata masih ada, sedikit lega. Suara adzan dari surau terdengar sayaup-sayup. Aku berhenti di surau untuk meunaikan solat maghrib. Penduduk kampung ini  tidak begitu banyak , mereka taat dalam menjalankan perintah agama. Musola yang berukuran kurang lebih 6 x 6 meter diterangi lampu minyak penuh dengan jamaah yang umumnya laki-laki dewasa dan anak-anak. Suara Pak Imam solat maghrib terdengar serak-serak basah dan berat, mungkin karena usia yang sudah udzur. Seusai solat jamaah aku menjamak solat isya’ sendirian. Hujanpun mulai reda,aku sempatkan berhenti sejenak untuk sedkit melepas penat sambil berbincang dengan tetua musola.
“ Assalaamu’alaykum,” sapaku.
Walaikumus salam,” jawab warga yang masih tersisa serentak.
“ Ini Mas Toha?,” salah satu warga menyapaku.
“ Iya Pak De, masih ingat ya,” balik aku bertanya.
“ Ya masih, terus ini dari mana atau mau kemana?,”
“ Mau pulang rumah ibu,” jawabku.
Sebenarnya ingin berlama-lama  bercerita dengan mereka , oang-orang yang dulu sering aku jumpai saat aku harus  berjalan kaki menuju ke pasar. Tetapi bisa jadi aku kemalaman di jalan, karena perjalan masih jauh. Tidak membuang waktu akupun pamit dan melanjutkan perjalanan.

Ibu, ya ibuku. Wanita mulia ini telah berjuang mempertaruhkan nyawa , bermandikan darah saat melahirkan anak-anaknya. Hidup  jauh dari kecukupan , jauh dari hiruk pikuknya keramaian kota. Dengan segala  kesederhanaan, menjadi petani kecil di kaki Gunung Wilis sudah suratantangan. Nakalnya aku dan adik-adik tidak membutnya marah, ketika Engkau menyuruh kami memberi trasi diwarung Mbok Tunem, tetapi kami belikan permen cicak.
 Ketika kami harus berebut cowek saat makan kemudian pecah, Engakau katakan “ Tidak apa-apa, Gusti Alloh isih sugih,”
 Saat kami merengek minta tambah nasi karena merasa kurang kenyang kemudian jatahmu Engkau berikan kepada kami lalu Kau bilang,” simbok isik wareg,”.
Saat adikku sakit dan Engkau tidak  tidur karena harus menggendongnya semalam suntuk Engkau katakan,” Simbok tidak ngantuk,”.
Kalaupun seandainya  harus berdarah-darah dalam mengarungi hidup ini demi buah hatimu pasti itu akan Engkau lakukan. Gelegar petir menyadarkan lamunanku . Tanpa kusadari perjalananku sudah setengah jam meningglkan musola tadi.   

Celaka! Rangselku?  Aku baru tersadar rangsel ku tertinggal di musola tadi. Apa akau harus meneruskan perjalanan kemudian besuk setelah matahari terbit aku ambil atau sebaliknya kembali arah mengambil rangsel di musola. Akhirnya kuputuskan untuk melnjutkan perjalanan, aku yakin warga yang ikut solat jamaah di musola tadi orang-orang jujur. Atau paling tidak pak imam akan menyimpan rangselku. Toh aku masih tas pinggangku tidak ketinggalan, dan surat – surat pribadiku ada di dalam tas ini.

Sinar bulan mulai menerangi perkampungan di lereng Gunung Banon ini. Sepi sangat terasa sepanjang jalan yang ku lewati. Suara jengkerik, belanag, katak, dan hewan malam lainya seakan menyambut kedatanganku. Sesekali berpapasan dengan warga di jalan, meskipun aku sudah sulit untuk mengingat namanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar meninggalkan kampung halaman ini. Sesekali waktu mudik toh juga juga cuma sebentar. Kedaan kampung tidak banyak berubah karena rata-rata anak yang sudah menyelesaikan sekolah sampai  perguruan tinggi tidak mau kembali. Diperparah dengan tidak dibangunya jaringan litrik dan jalan yang memadai masuk kampung ini.

Sampailah di pertigaan kampung Krajan, tiba-tiba hatiku berdebar. Ada yang menyelinap direlung hati. Rumah joglo berdiri kokoh, di tempat  ini Sumayyah gadis kembang desa Krajan tinggal. Lugu pendiam juga pemalu. Kerudung selalu menutup kepalanya, sehingga menambah sempurna kecantiknya. Gadis tamatan sebuah pesantren di kabupaten tetangga itu guru ngaji di musola dekat rumahnya. Banyak pemuda desa yang menaruh hati padanya. Dia wanita terhormat, solihah dan berpendidikan. Diam-diam aku selalu memperhatikan, dari warna kerudungnya, bajunya, cara berjalanya. Apalagi suara merdunya saat melantukan ayat-ayat suci AlQuran ketika mengajar murid-muridnya di musola. Semua jadi begitu indah dimataku.  Ah....inikah cinta.

Lamunanku buyar saat sesorang berteiak memanggilku, “ Kang Toha!,” rupanya aku sudah sampai di depan rumah ibu.  Adik bungsuku sudah berdiri di depan pintu, kami berpelukan air mata tak terbendung lagi. Entah berapa menit kami saling melepas rindu.
Kemudian aku mengucap salam, “ Assalaamu’alaikum ,” dari dalam rumah suara ibuku menjawab salamku,

“ Wa’alaIkumus salam ,masuk Toha simbok kangen,” aku menghambur ke pelukan ibuku,Pecah tangis kami berdua.  Aku rindu.

Komentar

  1. Ceritanya sudah ngalir, Kang. Bagus. Pesannya juga dapat. Hanya sedikit EBI yang harus diperbaiki. 😊👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis