KIDUNG MALAM
KIDUNG MALAM
0leh Kang Bari
“ Demuk terakhir...demuk terkhir...,” seru kenek angkutan
desa yang membawaku dari terminal Tulung Agung.
Aku segera mengambil tas rangsel, melangkah turun dari
mobil. Matahari sudah di atas Gunung Banon sinarnya semakin redup. Aku mampir
disebuah warung kopi, menanyakan kendaraan
yang bisa mengantarkan ke Dusun Krajan.
“ Di sini gak ada kendaraan Mas, satu - satunya ojek Kang
Bejo . orangnya pergi ke kota ,”
Kapan pulang nya Bu,” tanyaku tidak sabar.
“ Kayaknya menginap,” jawab pemilik warung.
Haruskah aku menginap dimenunggu tukang ojek atau harus
berjalan kaki. Kuputar otakku untuk mengambil sikap, ntara menginap dan
berjalan kaki. Akhirnya kuputuskan harus berjalan kaki.
Matahari perlahan
masuk keperaduan, kelelawar mengepakkan sayap menyusuri kegelapan senja.
Gerimis mengiringi langkahku menapaki jalanan sepi dihamparan kebun ubi. Berbekal sebongkah
harapan , menggelayut di anganku. Suara petir bersahutan tak mengurangi
tekadku. Mantel hujan membungkus tubuh menemani langkah menembus dinginya
petang. Jalanan sedikit mendaki dan licin, tas rangsel di pundakku tidak terasa
berat.
Tiga puluh menit langkahku terhenti , di depan sungai banjir
jembatan penghubung terendam air . Aku mencari jalan alternatif berbelok
kekanan menyusuri sungai mencari jembatan yang bisa dilalui. Sepengetahuanku dulu
ada jembatan lagi dibagian ulu sungai ini. Alhamdulillah ternyata masih ada,
sedikit lega. Suara adzan dari surau terdengar sayaup-sayup. Aku berhenti di
surau untuk meunaikan solat maghrib. Penduduk kampung ini tidak begitu banyak , mereka taat dalam
menjalankan perintah agama. Musola yang berukuran kurang lebih 6 x 6 meter
diterangi lampu minyak penuh dengan jamaah yang umumnya laki-laki dewasa dan
anak-anak. Suara Pak Imam solat maghrib terdengar serak-serak basah dan berat,
mungkin karena usia yang sudah udzur. Seusai solat jamaah aku menjamak solat
isya’ sendirian. Hujanpun mulai reda,aku sempatkan berhenti sejenak untuk
sedkit melepas penat sambil berbincang dengan tetua musola.
“ Assalaamu’alaykum,” sapaku.
Walaikumus salam,” jawab warga yang masih tersisa serentak.
“ Ini Mas Toha?,” salah satu warga menyapaku.
“ Iya Pak De,
masih ingat ya,” balik aku bertanya.
“ Ya masih, terus ini dari mana atau mau kemana?,”
“ Mau pulang rumah ibu,”
jawabku.
Sebenarnya ingin berlama-lama bercerita dengan mereka , oang-orang yang
dulu sering aku jumpai saat aku harus
berjalan kaki menuju ke pasar. Tetapi bisa jadi aku kemalaman di jalan,
karena perjalan masih jauh. Tidak membuang waktu akupun pamit dan melanjutkan
perjalanan.
Ibu, ya ibuku. Wanita mulia ini telah berjuang
mempertaruhkan nyawa , bermandikan darah saat melahirkan anak-anaknya. Hidup
jauh dari kecukupan , jauh dari hiruk pikuknya keramaian kota. Dengan
segala kesederhanaan, menjadi petani
kecil di kaki Gunung Wilis sudah suratantangan. Nakalnya aku dan adik-adik
tidak membutnya marah, ketika Engkau menyuruh kami memberi trasi diwarung Mbok Tunem, tetapi kami belikan permen cicak.
Ketika kami harus
berebut cowek saat makan kemudian
pecah, Engakau katakan “ Tidak apa-apa, Gusti Alloh isih sugih,”
Saat kami merengek
minta tambah nasi karena merasa kurang kenyang kemudian jatahmu Engkau berikan
kepada kami lalu Kau bilang,” simbok isik
wareg,”.
Saat adikku sakit dan Engkau tidak tidur karena harus menggendongnya semalam
suntuk Engkau katakan,” Simbok tidak
ngantuk,”.
Kalaupun seandainya harus berdarah-darah
dalam mengarungi hidup ini demi buah hatimu pasti itu akan Engkau lakukan. Gelegar
petir menyadarkan lamunanku . Tanpa kusadari perjalananku sudah setengah jam
meningglkan musola tadi.
Celaka!
Rangselku? Aku baru tersadar rangsel ku
tertinggal di musola tadi. Apa akau harus meneruskan perjalanan kemudian besuk
setelah matahari terbit aku ambil atau sebaliknya kembali arah mengambil
rangsel di musola. Akhirnya kuputuskan untuk melnjutkan perjalanan, aku yakin
warga yang ikut solat jamaah di musola tadi orang-orang jujur. Atau paling
tidak pak imam akan menyimpan rangselku. Toh aku masih tas pinggangku tidak
ketinggalan, dan surat – surat pribadiku ada di dalam tas ini.
Sinar bulan mulai menerangi perkampungan di lereng Gunung
Banon ini. Sepi sangat terasa sepanjang jalan yang ku lewati. Suara jengkerik,
belanag, katak, dan hewan malam lainya seakan menyambut kedatanganku. Sesekali
berpapasan dengan warga di jalan, meskipun aku sudah sulit untuk mengingat
namanya. Tiga tahun bukan waktu
yang sebentar meninggalkan kampung halaman ini. Sesekali waktu mudik toh juga
juga cuma sebentar. Kedaan kampung tidak banyak berubah karena rata-rata anak
yang sudah menyelesaikan sekolah sampai
perguruan tinggi tidak mau kembali. Diperparah dengan tidak dibangunya
jaringan litrik dan jalan yang memadai masuk kampung ini.
Sampailah di pertigaan kampung Krajan, tiba-tiba hatiku
berdebar. Ada yang menyelinap direlung hati. Rumah joglo berdiri kokoh, di
tempat ini Sumayyah gadis kembang desa Krajan
tinggal. Lugu pendiam juga pemalu. Kerudung selalu menutup kepalanya, sehingga
menambah sempurna kecantiknya. Gadis tamatan sebuah pesantren di kabupaten
tetangga itu guru ngaji di musola dekat rumahnya. Banyak pemuda desa yang
menaruh hati padanya. Dia wanita terhormat, solihah dan berpendidikan.
Diam-diam aku selalu memperhatikan, dari warna kerudungnya, bajunya, cara
berjalanya. Apalagi suara merdunya saat melantukan ayat-ayat suci AlQuran
ketika mengajar murid-muridnya di musola. Semua jadi begitu indah dimataku. Ah....inikah cinta.
Lamunanku buyar saat sesorang berteiak memanggilku, “ Kang Toha!,” rupanya aku sudah sampai di
depan rumah ibu. Adik bungsuku sudah
berdiri di depan pintu, kami berpelukan air mata tak terbendung lagi. Entah
berapa menit kami saling melepas rindu.
Kemudian aku mengucap salam, “ Assalaamu’alaikum ,” dari
dalam rumah suara ibuku menjawab salamku,
“ Wa’alaIkumus salam ,masuk Toha simbok kangen,” aku menghambur ke pelukan ibuku,Pecah tangis kami
berdua. Aku rindu.
Ceritanya sudah ngalir, Kang. Bagus. Pesannya juga dapat. Hanya sedikit EBI yang harus diperbaiki. 😊👍
BalasHapusmakasih masukanya Dewie
Hapus