Hamid
Hamid
Oleh Kang Bari
Lelaki paruh baya dengan baju
putih celana jean warna biru, duduk bersandar di pojok warung kopi. Sambil menikmati seduhan kopi hitam sesekali ia
melempar pandanganya ke seberang jalan, di sana ia temukan seonggok puing-puing
bangunan. Ya di tempat itu dulu ada sebuah rumah mungil diantara bangunan yang
lainnya. Di rumah
itu ia pernah tinggal, mengukir
hari-hari bersama belahan jiwa, istri
dan satu orang anaknya. Kenangan itu tiba –tiba
muncul di ruang angannya, saat-saat terindah bersama orang-orang tercinta.
“Ayah...ayah....” suara cadel
Ahmad menyabut kedatangannya saat pulang dari kantor. Kemudian bocah mungil itu
berlari menuju ayahnya lalu minta digendong, belum puas juga ia memintanya
merangkak. Sudah bisa ditebak pasti ia naik ke punggung dan berpura-pura jadi
seorang penunggang kuda yang mengelilingi ruangan tamu sampai ke dapur. Capek
pun jadi hilang kalau sudah bersama Ahmad anak semata wayang itu.
“Sudah ya nak turun, kudanya
lapar ni...perlu di beri makan dulu,” ucap ayahnya untuk menghentikan permainan
itu.
“Aku belum mau turun, mutar
sekali lagi ke teras depan,” pinta Ahamd yang belum puas naik punggung ayahnya.
Dengan sabar diladeni juga rengek
si anak itu, merangkak ke teras layaknya seekor kuda tunggangan.
“Ah...,” tiba-tiba lelaki itu
bergumam lirih. Tiba-tiba mengalir dari sudut matanya butiran bening, mengalir
memenuhi pipinya yang cekung. Tatapan matanya menembus atap warung yang terbuat
dari daun rumbia, berkelana ke masa silam. Perang . Ya perang yang telah
menghancurkan semuanya. Sekelompok orang bersenjatakan alat tradisional
tiba-tiba menyerang kampung pada saat warga masih terlelap, membakar
rumah-rumah warga. Dia terjaga saat api sudah mengepung tempat tinggalnya,
berlari dan menyelamatakan diri. Kemudian ia sadar bahwa anak dan istrinya
tidak bersamanya. Lalu ia kembali untuk mencarinya tetapi hanya kobaran api
yang ia dapatkan.
Sementara terikan penyerang itu
riuh menggema memenuhi angkasa di malam itu, sekuat tenaga ia menjauhi kobaran api. Dengan langkah terseok-seok
menembus gelapnya malam mencari tempat persembunyian, sampailah langkahnya
disemak belukar di perbukitan yang cukup jauh dari kampung itu. Tiga hari tiga
malam ia tidak berani keluar dari tempat persembuyian ini, sampai akhirnya ada
aparat pemerintah menemukan dirinya.
Sejak itulah ia hidup sebatang
kara, tak tahu lagi kabar isteri dan anaknya. Ia mengembara dari satu tempat ke
tempat yang lainya. Lamunanya terhenti saat ada seorang menepuk pundaknya.
“Hamid ya?” suara itu mengagetkannya.
“Iya, kamu siapa?” lelaki yang
dipanggil hamid itu balik bertanya.
“Harun , Harun,” jawab
orang itu meyakinkan Hamid.
Sambil memandang dengan penuh
selidik, ia berusaha mengingat-ingat nama kembali, nama yang mungkin pernah ia
kenal dua puluh tahun yang silam. Angannya kembali melayang menembus gelapnya
malam, di warung kopi Pak Jazuli. Tiba-tiba ia berteriak.
“Oooo...berarti kamu anak Pak Husain
ya?” tanya Hamid kepada lelaki yang mengaku Harun itu.
“Iya Mas...aku Harun anak Pak
Husai,” jawab lelaki itu.
Kemudian kedua sahabat itu
berpelukan dengan erat, pecah tangis keduanya setelah dua puluh tahun tidak
pernah betemu. Jangankan bertemu sejak peristiwa penyerangan itu mereka tidak
saling tahu rimbanya. Hari semakin larut, hujanpun terus mengguyur warung kopi
malam itu. Di luar lalu lintas mulai sepi namun masih terlihat ada satu dua
kendaraan yang melintas. Dari dalam warung juga masih mengalun musik keroncong
menemani pengunjung menikmati sedapnya kopi hitam racikan Pak Jazuli.
#DAYs15
#30DWC
#ODOP
Ya Allah... semoga anak dan istrinya selamat, dipertemukan lagi dengan Hamid 😢
BalasHapusSedih banget ini.
BalasHapusIni macam perang sudara yg di Maluku atau sampit ya
Sedihhhhh
BalasHapusSedih, semoga hamid segera bertemu dengan anak istrinya
BalasHapusPerang. Sedihnya nyampe pak.
BalasHapusDan..... baca ini berasa baca sastra klasik terbitan balai pustaka :))
hiks..hiks
BalasHapus