Pak Dayoh
Pak Dayoh
Oleh Kang Bari
Tidak ada satu pun media masa kota kami yang
berani memberikan saran apalagi mengkritik. Kebijakanya tidak merakyat. Kemana dia pergi selalu dikawal
oleh algojo-algojo dengan wajah sangar, tatapan sinis. Mengendarai mobil mewah
dengan iringan dan pengamanan super ketat. Entah sejak kapan pembesar ini
menjadi diktator dengan segala kenagkuhannya. Rumahnya pun dijaga super ketat,
lalat dan nyamuk pun tak bisa menerobos barikade pengamanan. Anjing pelacak
disiagakan di pintu gerbang yang bangunanya mirip goa dalam cerita horor.
Berbilang tahun yang terlewati Si
Bos ini datang laksana pahlawan, sederhana
dan sangat merakyat. Pemurah dan baik hati, tidak sedikitpun tergambar
kebengisan dari raut mukanya. Tutur katanya santun dan menyentuh hati setiap
orang yang diajak bicrara. Dia datang dari kota entah berantah pada saat yang
sangat tepat. Dimana warga kota sedang mencari sosok bijak yang bisa memberikan
pengayoman dan perlindungan.
Penampilannya yang lugu dan ndeso
membuat semua warga tertarik dan simpati kepadanya. Turun ke pelosok kota dan
pasar rakyat menjadi kebiasaannya. Membeli barang dagangan rakyat jelata
menjadi gaya hidupnya, bahkan tidur di
rumah warga dengan beralaskan tikar mendong jadi kebanggan. Makan nasi aking di
pemukiman kumuh bersama warga bantaran sungai dijalaninya. Hari-harinya selalu
bersama wong cilik yang hanya tahu
urusan perut.
Tibalah saatnya kota kami
kekosongan kepala suku, karena kepala suku kami sudah renta dan tidak sanggup
lagi memberikan pengayoman dan perlindungan. Kebiasaan kami bermusyawarah dalam
memilih kepala suku sudah turun temurun dari generasi ke generasi. Balai adat
menjadi ajang hajatan besar menentukan kepala suku. Sudah menjadi kebiasaan
kepala suku dipilih dari orang-orang terbaik diantara warga kota. Tidak ada
suksesi dan masa kampanye semua berjalan dengan alami. Orang-orang terbaik
dipilih mulai dari lingkungan paling kecil yang kami sebut Nagari. Semua orang
terbaik boleh berkompetisi pada acara sidang pemilihan kepala suku.
Sidang dipimpin oleh wali Nagari
dengan memberikan petuah dan nasehat bagi calon-calon kepala suku. Kemudian
dilanjutkan dengan musyawarah mufakat untuk memilih kepala suku dengan
mendengrkan paparan tim pemilihan mengenai latar belakang para calaon kepla
suku. Puncak acara adalah penobatan kepaka suku yang terpilih dalam musyawarah
adat.
Tak ubahnya pada saat pemilihan
kepala suku saat itu, maka terpilihlah Pak Dayoh laki-laki berpenampilan ndeso dengan segala kesederhanaanya
sebagai kepala suku. Gaya lugu seperi alu
yang suka blusukan di perkampungan kumuh di bantaran sungai akhirnya dinobatkan
menjadi kepala suku di balai adat hari itu juga. Setelah terpilih secara
aklamasi kepala suku diarak keliling kota dengan menggunakan kereta kencana
yang ditarik enam ekor kuda pilihan. Lambaian tangan Sang Kepala Suku tidak
henti-hentunya menyapa warga kota. Hingar bingar warga kota dilampiaskan dengan
menggelar pasar rakyat tujuh hari tujuh malam di sepanjang jalan protokol di
kota kami.
Hari berganti suasana berubah,
bak air dengan minyak atau seperti malam dengan siang. Bermula dangna fasilitas
dan penghormatan yang diberikan oleh warga kota maka, sekarang Pak Dayo tidak
pernah lagi blusukan di perkampungan kumuh di bantaran sungai. Tidak ada lagi
rumah warga yang menjamu Pak Dayoh dengan nasi aking. Semua tinggal cerita
pengiring mium kopi di angkringan pojok-pojok kota. Semua tinggal penyedap
obrolan anak-anak gaul di kafe-kafe malam.
Wajah ndeso itu kini berubah menjadi bengis dan sangar, tak satu pun
warga kota yang berni menatapnya. Tangan pemurahnya kini berubah menjadi tangan
besi dan serakah. Menjarah hak rakyat dan menampar harga diri warga kota.
Rumah-rumah kumuh kini digusur, pasar pasar tradional kini dirobohkan,
lapak-lapak kaki lima kini ditertibkan. Tak ada lagi rasa iba, telah hilang
ketulusan seorang Dayoh. Rakyat bertanya-tanya siapakah pahlawan? Siapakah
Penghianat? Ataukah mereka seperti dua sisi mata uang?
# Days2
#30DWC
#One Day One Post
pas banget dengan keadaan skrg pak, d daerah saya sdg ada pemilihan juga, dan spt biasa para calon hadir sebagai sosok yg karismatik, liat saja nanti, heheh tulisan keren dan penuh sindiran banget pak, pas di zaman Now hehe
BalasHapusTerimakasih dah singgah @Ayu
HapusKetika sastra bicara zaman pemimpin ediaannn 😊
BalasHapusTerimakasih Mbk Dewi
BalasHapuskeren bapake...
BalasHapusTerimakasih Mbak Wid...jadi pendorong semangat
Hapus