Kemarau

Kemarau
( Bagian 3 )
Oleh Kang Bari

Seperti jatuh dihimpit tangga, bencana kekeringan yang berujung kelaparan belum usai bertubi-tubi bencana menimpa mereka. Ketika mentari di ufuk timur menyemburatkan meyapu perbukitan yang gersang meranggas di Kampung Sukasari, tiba-tiba muncul jutaan kecoa dari sela-sela tanah sawah yang merekah. Hewan itu merayap memenuhi areal sawah bagaikan pasukan yang dikomando, mengerubuti bangkai-bangkai ternak yang bergelimpangan. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan dalam waktu tidak begitu lama bangkai-bangkai itu berubah seperti daun dimakan ulat. Jenis serangga itu begitu rakus memangsa setiap tubuh bangkai yang dikerubuti, pergerakan koloni hewan ini menimbulkan suara seperti hembusan angin. Pemandangan dan suara seperti itu menghiasi kehidupan di tanah kering kampung kami berhari-hari.

Dalam hitungan kurang satu minggu ratusan bangkai ternak yang bergelimpangan di kampung kami itu tingal tulang-belulang. Dagingnya habis dilalap jutaan kecoa warna jingga yang kemunculanya sangat tiba-tiba tersebut. Seiring dengan itu bau menyengat yang selama ini mencemari kampung kami sudah sangat berkurang, kami sedikit bisa bernapas lega. Jutaan serangga itupun kemudian menghilang begitu saja laksana ditelan bumi nyaris tanpa bekas kecuali menyisakan kerangka hewan ternak. Tulang belulang itu berserakan di sawah, ladang bahkan di selokan dan sungai yang mengering.

Kemunculan dan menghilangnya kecoa yang begitu tiba-tiba itu menjadi pembicaraan di tengah-tengar warga kampung. Disela-sela kesedihanya menanggung beban hidup yang semakin sulit itu mereka senantiasa membicarakan hewan serangga itu.
“Bagimana Mas Latif, dengan kecoa-kecoa itu?” tanya Abah Sabariman seorang pemuka agama di kampung itu saat selesai Shalat Duhur di Mushala Al Kahfi.
“Alhamdulillah Bah sudah tidak ada lagi,” jawab pemuda yang di panggil Latif itu.
“Alhamdulillah mudah-mudahan kita warga kampung ini bisa mangambil pelajaran dari peristiwa ini,” lanjut Abah Sabariman.
“Betul Bah, karena bencana di kampung kita ini sudah begitu lama. Barang kali ada yang perlu kita koreksi ya Bah?” tanya Latif lebih jauh.
“Insya Allah begitu Mas. Banyak warga kita ini yang beraga Islam tetapi belum melaksanakan syariat Islam, masih banyak kemaksiatan yang dilakukan. Mudah-mudahan bencana ini menggugah kesadaran untuk kembali kepada jalan hidup yang diridoi Allah SWT.” Urai Abah Sabariman diamini oleh Latif. Selaku tokoh agama Abah Sabariman tidak bosan-bosanya mengajak, warga kampung untuk belajar agama dan mengamakannya. Terlebih lagi saat bencana mendera kampung ini bertubi-tubi, ia selalu mengajak untuk meminta petologan kepad Allah Swt.

Angin dingin disertai debu menghiasi kondisi kampung kami, mentari perlahan menuju ke tempat peraduanya. Langit begitu cerah seakan tanpa mendung menaungi kampung kami. Namun tidak secerah warga kampung mereka terlihat hampir putus asa atas musibah ini. Adalah sosok Abah Sabariman seorang yang sangat piawai dalam memberikan motivasi kepada warga. Tidak hentinya-hentinya beliau selalu memberikan nasehat dan mendampingi warga. Dialah penggagas Shalat Istisqo beberapa waktu lalu, dan sekarang hari-harinya berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberikan dorongan moril di tengah-tengah keputusasaan warga. Mengajak warga untuk bersandar kepada Allah SWT di samping berusaha secara lahiriyah. Tidak jarang tokoh yang satu ini juga memberikan bantuan matreiil, karena memang beliau adalah orang yang berkecukupan secara materi di kampung ini.

Adzan Maghrib berkumandang dari Masjid yang berada di samping rumah Abah begitu panggilan Abah Sabariman bagi warga kampung ini.  Beberapa laki-laki dewasa berjalan beriringan dengan anak-anaknya, mereka menuju masjid. Demikian juga kaum wanita nampak beberapa orang sambil menggendong anaknya menuju ke tempat itu juga. Sebelum musibah menimpa setiap waktu shalat tiba hanya keluarga Abah saja yang pergi ke masjid, saat ini sudah lumayan ada perkembangan yang cukup signifikan. Selaku imam adalah beliau Abah sendiri.

Kekhusyukan Shalat Maghrib sore itu terganggu, tiba-tiba bumi bergoyang sangat  hebat, masjid tempat shalat seakan-akan roboh. Suara gemertakan di seluruh bangunan, diiringi suara gemuruh begitu dahsyat. Anak-anak menjerit ketakutan kemudian merangkul orang tua masing, sambil menangis histeris. Ternyata gempa bumi melanda kampung kami. Seusai salam mereka semua berhamburan keluar menyelelamatkan diri. Sementara goyangan masih begitu kuatnya, suara takbir dan jeritan bergema diseluruh pelosok kampung. Semua warga berhamburan ke halaman rumah, suasan gelap menambah panik dan cemas warga. Gempa berhenti setelah berlangsung kurang lebih tujuh menit. Tubuh-tubuh ringkih yang kekurangan makan semakin menderita dengan bencana yang bertubi-tubi mendera mereka. Suara istighfar yang diiringi isak tangis menggema disetiap sudut kampung. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, begitu berat ujian yang dirasakan. Segelap malam inikah nasib mereka. Atau esuk akan menyongsong terbitnya matahari yang selalu memberikan harapan. Malam ini mereka harus tidur di atas hamparan tanah kering dan beratapkan langit, karena masih idhantui oleh gempa susulan.

#DAYs 4
#30 DWC
#ODOP


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Abadi

Hamid

Pelukis