Setegar Karang
Setegar Karang
Oleh Kang Bari
Suasana rumah ukuran 6 x 9 meter berdinding bambu itu cukup tertata rapi, halaman yang sempit kelihatan bersih. ini pertanda penghuninya sangat perhatian dengan lingkunganya. di sinilah Mbok Giyarti dan anaknya Nurwidayati serta suaminya tinggal.
“ Kapan Nduk periksa lagi ke Puskesmas?” tanya Mbok Giyarti kepada anak
bungsunya Nurwidayati.
“ Besuk Mbok tanggal 28,” jawab Nur panggilan akrab anak bungsunya itu.
“ Ya sudah kalau begitu mbokmu mau ke sawah dulu, mau memetik
kacang panjang biar besuk ada ongkos untuk periksa,” lanjut mertua Yoga
mengakhiri percakapnya dengan Nur.
“ Ya Mbok hati-hati ya,” pesan istri Yoga kepada ibunya.
Kemudian wanita tua yang usianya
sudah menginjak kepala tujuh itu menggendong
senik mengayunkan kakinya menuju
sawah.
Sebagai pasangan muda sudah
barang tentu kehamilan anak pertama
merupakan suatu kebahagian tersendiri. Tetapi tidak begitu halnya dengan
pasangan Yoga dan Nurwidayati ini. Pasangan muda ini setelah menikmati masa
bulan madunya mereka harus rela berpisah tempat. Karena desakan ekonomi dan
juga kebiasaan di lingkungannya maka Yoga merantau ke negeri Jiran Malaysia.
Sudah empat bulan terakhir suami Nur ini bekerja di negara menara kembar itu.
Kini usia kandungan istri Yoga ini
sudah memasuki minggu ketiga bulan kesembilan. Sehingga Nur tidak banyak
membantu ibunya bekerja di sawah seperti bulan-bulan sebelumnya. Saat yang
sudah mendekati kelahiran sehingga perlu menjaga kesehatan dan juga
mempersiapkan mental. Komunikasi selalu dijalani dengan suaminya meskipun
seminggu sekali. Yoga selalu menyempatkan diri menelpon Nur, ditengah-tengah
kesibukannya bekerja di Malaysia. Begitulah cara dia memberi semangat kepada
istrinya.
Seperti siang itu, telepon
genggam Nur berdering beberapa kali tetapi karena dia sedang mencuci sehigga
tidak terdengar. Setelah selesai, ia masuk ke rumah didapatinya sudah ada 6
panggilan tidak terjawab. Ternyata itu dari suaminya. Beberapa saat kemudian
telepon genggam itu berdering lagi. Wajah sumringah menghiasi wajah istri
Yoga, matanya berbinar-binar. Sambil memperbaiki posisi duduknya wanita muda
ini mengangkat panggilan dari orang yang selalu dirindukan itu.
“ Assalaamu’alaikum,” ucap Nur
dengan suar lembutnya menyapa sang suami.
“ Wa’alaikumus salam,” jawab Yoga
dari seberang sana.
“ Sehat sayang,” Yoga tak mau
kalah menanyakan kondisi istri tercintanya.
“ Alhamdulillah sehat Mas, Mas
sehat juga kan?’ suara manja Nur bergantian bertanya kepada suaminya.
“ Mas, anak kita dah kangen lo.
Dia manja Mas dengan ibunya,” celoteh Nur sambil mengelus-elus kandungannya.
“ Iya...insya Allah waktu
kelahiranya nanti pulang sayang, aku kangen juga. Biar kunikmati tangisan
pertamanya ” balas calon bapak muda ini semangat.
“ Kalau anak kita nanti lahir perempuan
mau diberi nama siapa?” tanya Nur.
“ Nanti kita beri nama Sovia,” jawab
Yoga.
“ Kalau laki-laki siapa ayo..,”
“
Kalau laki-laki hmm...siapa ya...ada deh,” ledek Yoga.
“ Siapa Mas?” jawab Nur dengan
manja.
“ Kita beri nama Heru,” jawab suaminya.
Begitulahmereka berdua selalau
hangat kalau sedang telepon, terkadang sampai lupa waktu.
Ketika sinar mentari lebut
membelai dedaunan , burung-burung mulai mengepakkan sayapnya calon ibu muda itu
bersiap-siap berangkat ke Puskesmas. Buku kontrol dan kartu BPJS dipersiapkan,
tidak ketinggalan air minum juga di bawanya. Semua dimasukkan dalam tas kecil
warna hitam kiriman Yoga dua bulan yang silam.
“ Mbok..ayo berangkat, mumpung masih pagi biar dapat antrian nomor
kecil,” suara Nur memanggil ibunya.
“ Ayo Nduk,” jawab wanita tua itu seraya berjalan beriringan dengan putri
bungsunya menuju jalan raya.
Beberap pasien sudah mengambil
antrian saat Nurwidayati sampai di tempat kartu antrian Puskesmas, segera ia
ikut mengambil. Nomor tiga dia dapatkan, kemudian ia ikut duduk berbaris dengan
pasien lainnya di bangku panjang depan klinik ibu dan anak. Sudah satu orang
pasien yang masuk ke dalam ruang praktek dokter. Dengan sabar Mbok Giyarti menemani putri bungsunya
itu menunggu antrian.
“ Mbok, perutku terasa mules,” bisik Nur kepada ibunya.
“ Iya to Nduk,” jawab ibunya girang, seraya mengelus-elus kandungan anaknya
itu.
“ Sabar yo Nduk, sebentar lagi dipanggil. Itu sudah nomor dua yang masuk.
Ditahan ya Nak rasa sakitnya” hibur Mbok Giyarti.
Nyeri dan mual yang dirasakan Nur
semakin jadi, saat dokter memangilnya ia masih bisa berjalan tetapi sudah
dibantu ibunya. Segera dokter memeriksa kondisi psien, setelah bebaring di
tempat tidur.
“ Alhamdulillah Mbak ini sudah
pembukaan dua, mudah-mudahan lancar,” ucap dokter yang memeriksa.
“ Maksudnya apa Dok?” tanya calon
ibu muda yang belum mengerti dengan apa yang dimaksud dokter tersebut.
“ Mbak akan melahirkan,” jawab
petugas yang menangani persalinan itu.
Nurwidayati tidak menyangka kalau
saat melahirkan ternyata maju dari perkiraan semula. Proses melahirkan akhirnya
berjalan dengan normal dan selamat. Satu jam dari mulai terasa akhirnya bayi
laki-laki itu lahir dengan selamat. Tangisan orok itu memecahkan ketegangan
yang di alami Mbok Giyarti. Tak satu lembar pakaian bayi pun dibawa dari
rumah,sehingga ia harus minta tolong kepada petugas untuk membelikan pakaian
bayi itu di toko terdekat. Karena memang dari awal tujuannya untuk periksa aja.
Air mata Nurwidayati berlinang
membasahi pipi, rasa haru dan bagahia tidak bisa terlukiskan dengan kata-kata.
Sambil mencoba menyusui anaknya ia tak henti-henti mengelap air mata itu. Tanpa
didampingi suami, wanita muda ini melalui masa-masa kritis. Saat yang
seharusnya seorang istri mendapat suport dari orang yang paling dekat
dengannya, saat yang seharusnya ia mendapat dorongan moril. Tetapi berkat
didikkan Mbok Giyarti dia menjadi kuat
menghadapi pahit getirnya kehidupan. Dia sangat tabah dengan ujian yang
dihadapinya teguh bagaikan karang. Anak bungsu Mbok Giyarti itu bisa memahami
keadaan suaminya, sehingga tidak ada mengeluh sedikit pun saat melahirkan.
Semua dia terima dengan ikhlas.
Ucapan syukur tidak henti-hentinya
ia panjatkan kehadirat Allah SWT dengan proses melahirkan yang sudah ia alami.
Bayi mungil itu telah hadir di tengah keuarga muda itu, menambah satu
kebahagiaan tersendiri. Mentari semakin tinggi meninggalkan pucuk-pucuk
pepohonan, menyertai tangisan si jabang bayi yang melihat terangnya jagad raya
di desa Girimulya.
Wah, mbayanginnya jadi aneh nih
BalasHapusMksh Mbk dah mmpir
HapusKasian sekali nggak fdi dampingi isterinya 😢😢😢
BalasHapusIstri masa didampingi istri toh bang ian...haha
HapusYg terbayang sama Iyan istri melulu hhh
HapusKonflik ini berada di banyak buku di dunia kita, semoga semuanya tetap setegar karang.😊
BalasHapusTerimakasih Anggi
Hapus