Biduk Itu Menembus Gelombang
Biduk Itu Menembus
Gelombang
( Bagian 5 )
Oleh Kang Bari
Pukul tiga dini hari Salamah telah terbangun dari lelapnya
tidur malam, segera ia mengambil air wudhu. Salman putra pertamanya itu
diselimuti agar tidak terjaga dari tidur saat ditinggal di ruang mushala. Ibu
muda satu anak itu membentangkan sajada di ruang shalat, memakai mukena warna
ping kesukaannya. Beginilah cara dia
menghadapi segala problematika kehidupan, mengadukan segala hal hanya kepada
sang pemilik kehidupan. Bagi istri
Jumadi ini berharap kepada Allah pasti akan terkabullah tetapi berharap kepada
selainya tunggulah kekecewaannya. Prinsip ini ia pegang kuat-kuat sehingga tidak
pernah dia mengeluh dalam menghadapi gelombang yang menghempas bahtera rumah
tangganya. Dia begitu tegar dan tabah.
Pukul enam pagi saat mentari perlahan menampakkan wajahnya
di ufuk timur, burung-burung pipit keluar dari sarang dan mengepakkan sayapnya.
Salamah menenteng sebuah koper dan menjinjing tas serta menggandeng Salman
hendak menunggu bis jurusan Bengkulu. Sesampainya di halte bis yang tidak jauh
dari rumahnya ia ikut berdesak-desakan dengan para pelajar yang hendak
berangkat sekolah. Tekadnya kuat untuk menyusul ayah Salman di Batam, meskipun
harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Kota Argamakmur.
Tiba-tiba telepon genggam Salamah berdering, segera ia
mengangkat telepon genggamnya itu. Seolah-olah tidak percaya dengan nama kontak
yang ada di telepon itu, matanya diusap-usap. Untuk meyakinkan ia minta tolong
kepada salah seorang pelajar di sebelahnya agar sudi membacakan nama kontak yang
sedang menelpon. Tangannya gemetar, pandangannya nanar ia betul-betul tidak
menyangka. Serasa mimpi. Mas Jumadi,
gumamnya seraya mengucapkan salam meskipun dengan suara yang tertahan di
tenggorokan. Jawaban dari seberang itu bagaikan air bagi musafir di padang
pasir, suara yang sangat ia kenal.
Hatinya berbunga-bunga, ucapan syukur tak henti-hentinya
ia lantunkan. Apa lagi setelah mendapat kepastian keradaan suaminya itu. “ Jadi
Mas akan pulang siang ini,” pertanyaan Salamah kepada Jumadi untuk meminta
kepastian dengan ucapan suaminya itu. Akhirnya ibu Salman membatalkan
keberangkatannya menuju Batam pagi itu juga, setelah mengetahui suaminya akan
pulang siang ini dari sana. Jumadi mengatakan akan naik kapal laut dari
Pelabuhan Batu Ampar Batam sekitar pukul sepuluh hari ini.
Sesampainya di rumah Salamah langsung melakukan sujud
syukur, air matanya mengalir tak terbendung. Sajada yang dibentangkan basah
karena butiran bening yang mengalir dari sudut mata wanita muda itu. Sampai
beberapa saat ia sujud dan menangis, sehingga Salman menangis memanggil-mangil
ibunya dengan menari-narik baju Salamah. Kemudian bocah mungil yang belum tahu
permasalahan kedua orang tuanya itu dipeluknya erat-erat, seolah-olah tak mau
melepaskannya. Sesaat kemudian ibu dan anak itu membereskan koper yang tadi
hendak dibawa bepergian.
Waktu terus berlalu, matahari semakin jauh meninggalkan
ketinggiannya siang itu menuju tempat peristirahatannya. Aktifitas warga Kota
Argamakmur terus menggeliat, hilir mudik kendaraan di depan rumah Salamah
sangat ramai. Menyeruak warnah merah
saga di bukit sebelah barat rumah istri Jumadi, seiring kelelawar mengepakkan
sayapnya meninggalkan kehangatan sarang. Petang pun tiba, Sang Dewi Purnama
menampakkan diri di ufuk timur. Cahayanya yang teduh seolah-olah memberikan
pengayoman terhadap Salamah yang tengah dirundung kesedihan. Suara katak
bersahut-sahutan bak irama simponi
kehidupan. Yang terkadang cepat menghentak lalu lembut dan pelan
bagaikan irama keroncong.
Hujan rintik-rintik menghiasi Kota Argamamur tengah malam
itu, disaat sebagian besar warganya tertidur lelap setelah seharian melalukan
aktifitasnya. Jalan-jalan lengang, hanya
ada beberapa lapak tenda biru penjual makanan. Sang Dewi Purnama tidak lagi terlihat
karena tertutup awan, tinggallah lampu-lampu jalan yang menerangi kota malam
itu. Sepi dan sunyi sangat terasa di tengah guyuran hujan yang semakin deras.
Sesepi dan sesunyi kota malam inilah hati Salamah semenjak suami tercinta tidak
berada di sampingnya. Hari-hari dilalui dengan penuh pengharapan ditengah
kecemasan. Malam ini pun ia terlelap dalam dinginnya guyuran hujan.
Malam terasa panjang, mimpi pun tidak jadi indah.
Mengharap segera datangnya pagi, menyongsong datangnya sinar mentari yang cerahkan
bumi. Begitu juga Salamah, detik, menit,
dan jam pun seolah-olah tidak berajak dari posisi semula. Menanti kedatangan
Jumadi dari Batam sungguh sangat tidak menyenangkan. Tetapi dibalik itu semua
ada sebuah harapan baru bagi kehidupan rumah tangganya bersama ayah Salman.
Harapan yang senantiasa ia gantungkan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Harapan yang juga menjadi harapan setiap pasangan suami istri dalam mengarungi
biduk rumah tangga. Harapan itu adalah keluarga sakinah mawaddah warrohmah.
Suara adzan subuh membangunkan Salamah dari mimpi
malamnya, bergegas ia membersihkan badan kemudian mengambil air wudu. Pagi yang
penuh harapan, hatinya cerah berbinar
secerah sinar mentari pagi ini. Seusai shalat subuh ia segera berbenah
menyelesaikan pekerjaan rumah selaku ibu rumah tangga. Berbagai hal ia
kerjakan dengan senang hati, terlebih pada pagi ini. Karena pagi ini ada yang
istimewa dibandingkan hari-hari sebelumnya. Hari dimana ia menunggu kedatangan
orang yang sudah menjadi belahan jiwanya. Ia telah mempersiapkan diri lahir dan
batin, akan memberikan yang terbaik bagi ayah Salman. Menu kesukaan suaminya
pun ia persiapkan dari pagi.
Bersambung...
Hmmm...komen diri sendiri
BalasHapusahahaha wajib BW ya pak, walaupun ke diri sendiri.
HapusHahaha...iya Mas Tian
HapusIstri soleha
BalasHapusBu salamah masak apa ya? Saya kepo deh
Nmksh Mbk Nana dh mmpir
HapusCeritanya mengalir
BalasHapusterima kasih dah mampir
HapusSalamah istri soleha :)
BalasHapusterimakasih sudah mampir
Hapusnunggu sambungannya, Kang Bari... asyik (y)
BalasHapusterimakasih sudah mampir
Hapusbu Salamah trima ketring ga pak
BalasHapusterima hahahaha
Hapus