Biduk Itu Menembus Gelombang
Biduk Itu Menembus
Gelombang
( Bagian 4 )
Oleh Kang Bari
Berada di samping adik sepupu yang mengemudikan mobil barang menuju
pinggiran Kota Batam Jumadi tidak banyak bicara. Saat melihat anak-anak
bermain disepanjang jalan yang dilewati, terbayang olehnya Salman anak pertama
buah perkawinan dengan Salamah. Bayangan bocah lucu itu menari-nari di pelupuk
mata, seakan-akan memanggil-manggil dan melambaikan tangan. Kemudian pergi
bersama awan dan hadir lagi, suara khas balita itu hadir di ruang dengar dengan jenaka dan manja. Lalu tangan kecil Salman
menggenggam tangan ayahnya membimbing untuk mengambil mainan kesukaannya.
Dengan manjanya anak itu naik ke punggung Jumadi yang merangkak seperti
kesatria penunggang kuda, sambil memegang pedang mainan dari plastik yang
dibelinya di pasar malam dekat rumah.
“ Sudah nak, ayo turun ayah capek
pulang kerja belum istirahat,” suara istrinya merayu sang buah hatinya untuk
turun dari punggung Jumadi. Tetapi Salman merengek minta tambah waktu karena
belum puas berada di atas punggung ayahnya. Waktu setengah jam dirasakan sangat
singkat oleh bocah lucu itu menikmati waktu bermain bersama ayahnya.
“ Sudah sampai kita Mas,” ucap
Toha anak Paman Ahmadi membuyarkan lamunan Jumadi. Segera ia buka pintu dan
turun dari mobil lalu mengangkat barang-barang kiriman itu berdua. Ini adalah
hari keempat ia berada di Batam, dan sudah seminggu juga artinya ia tidak
kontak dengan istrinya. Jumadi juga tidak bercerita dengan pamannya kalau
kepergiannya ke Batam sedang ada masalah pribadi. Ia malu dan takut pamannya
marah kalau mengetahui hal itu. Barang-barang kiriman pun sudah ditrunkan semua,
lalu mereka berdua kembali menyusuri jalanan pinggiran Kota Batam menuju rumah
Paman Ahmadi.
Awan menyelimuti kota Batam sore
itu, berarak-arak hitam pekat dan angin bertiup cukup kencang. Berkali-kali
kilat menyambar disertai guntur yang menggelegar. Tidak lama kemudian hujan
mengguyur kota industri di Kepulauan Riau itu, jalan-jalan dipenuhi genangan
air. Suara adzan yang mengalun dari pengeras suara di beberapa masjid hanya
terdengar sayup-sayup tertimbun oleh gemuruh hujan. Beberapa laki-laki paruh
baya berpayung menuju masjid dengan sedikit mengangkat kain sarung untuk
menghindari genangan air di sepanjang jalan ke masjid. Hari semakin gelap karena
listrik mati total. Hanya beberapa rumah yang kelihatan masih menyala lampunya
karena menggunakan diesel.
Jumadi menyaksikan pemandangan
ini dari jendela kamar rumah pamannya. Hatinya bergejolak, pikiranya kusut
ingin rasanya menjerit sekeras-kerasnya. Satu-persatu kenangan indah bersama
anak dan istrinya muncul di pelupuk mata. Rasa bersalah begitu kuat menguasai
dirinya, tiba-tiba butiran bola bening mengalir dari sudut mata. Wajahnya
tertunduk sehingga dagunya menyentuh dada. Butiran bening itu semakin deras
mengalir sederas air hujan di petang itu.
Lelaki macam apa aku ini, tidak
bertanggung jawab dan pengecut. Kenapa harus berlari menghindar dari
permasalahan yang aku ciptakan sendiri. Dimana tanggung jawabku sebagai seorang
ayah kalau ada masalah terus minggat. Apa jawabku nanti kalau anak laki-lakiku
bertanya kenapa ayah pergi. Di mana aku akan menaruh muka jika orang tuaku tahu
kalau aku ini pengecut. Bagaimana aku punya harga diri di hadapan istriku,
selaku kepala rumah tangga ingkar terhadap tanggung jawabnya. Seribu pertanyaan
menggelayut di benaknya.
Udara dingin membangunkan Jumadi
dari tidur malam itu, jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Kepala terasa
berat sekali, matanya sembab dan wajahnya layu. Ia berusaha bangkit kemudian
mengambil air wudhu untuk shalat malam. Ia ganti baju kaosnya dengan baju koko
yang dibawa dari rumah. Dihamparkannya sajada yang diambil dari almari di kamar
itu. Perasaan berat untuk memulai takbiratul ihhram, tapi ia paksakan. Begitu
takbir air matanya deras mengalir membasahi pipi laki-laki beranak satu ini.
Rukuk dan sujud ia lakukan begitu khusyuk dan tumakninah. Setelah mencapai
sebelas rakaat ia duduk bersila, bibirnya melantunkan istighfar dan doa. Ini adalah kali pertamanya ia shalat malam
semenjak gila judi online.
Diliriknya jam dinding di kamar
itu, waktu subuh kurang dua puluh menit lagi. Jumadi mengambil handuk kemudian
membersihkan badan. Seusai mandi ia lebih terasa segar, kemudian mengenakan
baju koko, peci dan kain sarung menuju ke masjid. Hatinya merasakan kedamaian
ketika ia beranjak ke masjid, perasaan yang sudah lama tidak ia nikmati.
Pulang dari masjid Jumadi mencari
kartu telepon yang sudah hampir dua minggu tidak diaktipkan. Semangat ingin
berubah dan tidak lari dari tanggung jawab membuat ia harus berani menghadapi
kenyataan. Meskipun pahit dan sesulit apapun nantinya. Juga rasa rindu dengan
keluarga yang mendorong kesadarannya bangkit kembali. Dipasangnya kembali kartu
itu di telepon genggamnya.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar