Setetes Embun

Setetes Embun
( Bagian 12 )
Oleh Kang Bari
Persamadian yang dilakukan Mbah Wiro di padepokan malam itu betul-betul dilakuakan dengan konsentrasi penuh, seluruh kekuatan batin telah dikerahkan untuk sebuah kemenangan eksistensi. Tidak mau dirinya di lecehkan oleh masyarakat Gunung Cilik sehingga malam ini adalah sebuah momen  yang betul-betul harus menjadi miliknya. Sudah beberapa butir kemenyan dia taburkan kedalam tunggu pembakaran, sudah beberapa mantera dan ajian telah terucapkan. Peluh telah membasahi kening, semburan manterapun telah menghujani kepulan asap kemenyan beberapa puuh menit ini.

Tiba-tiba tungku pembakaran kemenyan itu pecah berantakan dengan suara ledakan yang cukup keras, bara berhamburan keseluruh ruang persamadian. Tubuh renta itupun terpelanting ke pojok ruangan, perlahan-aahan  ia bangkit lalu terseok-seok melangkah seraya berucap,” Kurang ajar, pertanda sial ini.”
Kemudian lelaki tu itu membalikkan badan menatap pintu gapura dengn pandangan putus asa, seolah-olah mendapat firasat yang tidak baik.  Lalu berjalan mendekati pintu rumah dan tanganya kananya memegang kusen pintu sementara kepalanya bersandar pada tangan itu. Suara batuknya memecah kesunyian saat itu, lalu tangan kirinya memegang dada sebelah kiri. Anganya melayang ke masa-masa kejayaan yang telah dilampaui, kemudian kini akankah semuanya berakhir.

Karjo terus berlari meninggalkan arena danyangan setelah tak sanggup melawan ustad muda itu. Napasnya terengah-engah ingin segera sampai di hadapan gurunya untuk mengadukan halnya, jarak lima ratus meter terasa amat jauh. Langkah kakinya seolah-olah tidak beranjak dari tempat semula padahal seluruh kekuatan telah ia kerahkan untuk berlari. Gelapnya malam serasa terang benderang layaknya siang hari, liku-liku jalan dan lobang di sepanjang pematang kebun tidak lagi ia rasakan.

Remang-remang terlihat pintu gapura padepokan, napas Karjo semakin terengah-engah hasrat bertemu gurunya semaikin memuncak. Rasa takut dan cemas terhadap kekalahan juga menghantuinya, terbayang hardikan dan umpatan sang guru menggelayut di ruang kepalanya. Langkahnya semakin tersok-seok seakan tak sanggup lagi menjangkau pintu gapura padepokan, ingin rasanya terbang saja. Beberpa senti meter memasuki pintu gapura padepokan tubuhnya tersungkur ke tanah, kemudian berteriak,” tolooong...tolooong...” kemudian ia merangkak menuju rumah joglo itu.

Teriakan Karjo menyadarkan lamunan tubuh renta itu, pandanganya menatap ke arah gapura. Seakan tidak percaya dengan pemandangan dan suara yang didengar, ia mengusap matanya kemudian memfokuskan pada bayangan hitam yang merangkak menuju kearahnya. Ternyata memang kenyataan, Karjo dengan  merangkak mendekatinya.
“ Guru maafkan saya, kami tidak sanggup melawan ustad muda itu bahkan sekarang Tarno ditangkap olehnya,” demikian murid itu mengadu. Mbah  Wiro diam, mulutnya terkunci lidahnya kaku tak sanggup membalas ucapan murid kesayaganya itu. Matanya nanar memandang langit, dari sudut bola mata mengalir bola bening kemudian perlahan mengalir membasahi pipi yang sudah cekung dan keriput itu.

“ Karjo masuklah,” pinta sang guru kepada muridnya. Rongga dada Karjo yang sejak tadi terasa sempit dan sesak tiba-tiba lapang dan lega, ucapan Mbah Wiro yang datar tanpa nada marah membuatnya  sedikit lega. Setelah masuk dalam rumah mereka berdua duduk berhadapan di kursi yang berada di tengah ruangan itu. Kemudian karjo menceritakan semua yang sudah ia lakukan sampai akhirnya ia melarikan diri meninggalkan Tarno. Demikian juga gurunya, semua keajadian di padepokan telah ia ceritakan kepada muridnya itu.
“ Lalu bagamana dengan nasib Tarno?” tanya Mbah Wiro.
“ Dia di tangkap ustad muda itu Mbah,” jawab Karjo singkat.
“ Maksudku terlukakah dia?” tanyanya lebih jauh.
“ Saya kurang tahu Guru, karena memang tidak begitu terang dan saya segera lari,” terang Karjo meyakinkan Mbah Wiro yang mengkawatirkan Tarno.
“ Mudah-mdahan saja tarno tidak mengalami nasib yang buruk,” ucap lelaki tua itu.
“ Kita tunggu saja sementara sampai Tarno pulang ke padepokan atau ada kabar dari sana,” tambah sang guru yang sudah semakin menyadari akan usia dan kemampuan fisiknya.
“ Iya Mbah, mudah-mudahan Tarno diperlakukan dengan baik oleh ustad muda itu,” sambung Karjo.

Pembicaraanpun terus berlanjut, kemudian Mbah Wiro meyampaikan pesan pada muridnya itu.
“ Karjo... sekarang aku sudah tua dan jamanpun sudah berubah, kejadian malam ini betul-betul membuat aku sadar bahwa tidak mugkin lagi cara-cara kita memberi pertolongan kepada warga hanya dengan cara-cara yang selama ini kita lakukan. Sudah saatnya kita memulai belajar dengan yang muda, kita hilangkan perasaan apling bisa, paling tahu dan merasa paling hebat,” lanjut Mbah Wiro.
“ Iya mbah, saya ikut bagaimana baiknya saja,” jawab Karjo.

Hari sudah larut malam bahkan sudah dini hari, karena capek dan tenaga yang terkuras akhirya mereka berdua tertidur di tempat mereka berbagi cerita tadi. Bahkan tidur mereka mendengkur seolah-olah tidak punya masalah sehingga sisa malam itu terlewati dengan sekias saja. Mbah Wiro tertidur di kursi panjang sementara Karjo tertidur di tikar yang dihamparkan di lantai. Suara adzan subuh membangunkan mereka berdua, ada getaran yang menyelinap dilorong hati, menembus kalbu mengguncang jiwa. Getaran-getaran itu begitu kuat, menukik dan menggugah kesadaran sejati seorang insan Wiro. Dia bangun kemudian duduk matanya nanar, tidak pernah suara adzan itu ia perhatikan selama ini. Kini suara itu betul-betul mengguncang jiwanya. Bergegas meraka membersihkan diri kemudian membreskan barang-barang yang berserakan di ruang persamadian. Membuang semua benda-benda dalam ruangan itu, yang selama ini di agung-agungkan.

Bersambung...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Abadi

Hamid

Pelukis