Setetes Embun

Setetes Embun
( Bagian 5 )
Oleh  Kang  Bari


Setelah solat isya  dimasjid dekat rumah kepala desa Ustad Furqan minta izin melanjutkan perjalanan ke rumah Ibu Sumarti disertai Arif. Perjalanan menyusuri pematang sawah yang sedikit lembek dan suasana gelap , ini memngharuskan mereka bertiga ekstra hati-hati. Arif sebagai penunujuk jalan berada paling depan dengan senter di tangan yang selalu menyala. Suara belalang, jangkrik dan hewan malam lainya menringi langkah mereka bertiga. Diselingi nyanyian katak malam perjalan malam itu sungguh sangat berkesan bagi ustad muda dari kota Argmakmur kota kecil di pegunungan Argapura. Sesekali harus melompat karena pematang sawah masih becek yang tidak memungkinkan untuk dipijak, bahkan terkadang harus mengangkat celana untuk menghindari lumpur.
“ Awas Pak ,” teriak Arif sambil berlari yang diikuti oleh Ahmad dan Ustad Furqan, ternyata ada seekor ular yang meintas di pematang sawah yang mereka lalui.

Selepas persawahan perjalan menyusuri jalan melingkar bukit kecil di Dusun gunung Cilik, salah satu dusun di Desa Girimulya yang terpisah dengan empat dusun lainya oleh hamparan sawah. Dusun ini berpenghuni kurang lebih 120 kepala keluarga dengan 400 jiwa, cukup jarang penduduknya karena luas dusun ini mencapai 50 Km². Sebelum memasuki area pemukiman perjalanan harus melewati perladangan dengan tanaman pisang dan ubi kayu yang cukup luas. Jalanya sempit karena di dusun ini belum ada kendaraan roda empat bahkan speda motor pun belum ada, salah satu penyebanya adalah jalan penghubung dari dusun ini ke dusun lainya belum permanen.

Di tengah perladangan terdapat pemakaman umum dan sebuah tempat yang dikeramatkan oleh warga setempat. Pada hari-hari tertentu tempat ini di kunjungi oleh para warga yang percaya untuk mendapatkan keberkahan dan pertolongan dari penghuni tempat ini. Suasana malam itu terasa semakin sepi karena sedikit rinti-rintik hujan meskipun jam tangan baru menunjukkan pukul 19.00.

Memasuki area pemukiman pemandangan sedikit berubah, terlihat lampu-lampu berjejer sepanjang jalan pada  gapura tiap rumah. Akan  tetapi bukan lampu listrik karena memang dusun Gunung Cilik ini belum teraliri jaringan listrik dari PLN. Lampu minyak yang berada dalam kotak kaca cukup memberikan tanda akan adanya sebuah pemukiman disaat malam seperti ini, meskipun tidak cukup untuk menerangi perjalanan malam. Arif putra kepala desa terus berada paling depan sebagi penunjuk jalan mereka bertiga. Sesekali bertemu dengan warga setempat mereka saling menyapa, apalagi seorang anak kepala desa semua orang sudah pasti mengenalnya.

Di simpang empat ada sebuah gardu ronda yang juga diterangi dengan lampu teplok yang menempel di dinding bangunan itu, tetapi belum kelihatan aktifitas ronda malam karena memang barusan selesai waktu isya. Beberapa anak kelihatan berkumpul di halaman rumah untuk bermain petak umpet, sebuah permainan yang masih di minati bagi anak-anak di dusun terpencil seperti ini. Suasana terasa lebih asyik saat beberapa anak lainya terddengar menyanyian lagu sambil bermain jamuran.
Jamuran yo ge ge
Jamur apa ya gege
Jamur gajih
bejijih sak oro-oro
Siro badhe jamur opo
Suara itu menghilang ketika mereka bertiga telah 30 meter berjalan  meninggalkan tempat anak-anak bermain tadi.

Setelah sampai di depan rumah kepala dusun, Arif menghentikan langkahnya seraya berkata, “ Pak Ustad kita mampir sebentar ke rumah kepala dusun untuk memastikan dimana rumah yang akan kita tuju.”
“ Ya, mungkinlebuh baik begitu,” jawab Ustad Furqan.
Kemudian mereka bertiga berbelok ke rumah kepala dusun .
“ Kulo nuwun,” ucap Arif di depan pintu rumah kepala dusun itu.
Dari dalam terdengar suara seorang laki-laki menjawab,” Mangga ,” disusul kemudian pintu rumah itu terbuka. Seorang lelaki paruh baya dengan mengenakan baju surjan dan celana hitam keluar dari rumah.
Mangga-mangga pinarak, ooo...Nak Mas Arif” dengan isyarat jempol tangan kanan mempersilakn tamunya masuk.
“ Matur nuwun Pak, ini saya Cuma mau tanya rumah Ibu Suryati itu dimana ya?” jawab Arif.
“ Nak, sampean jalan maju lagi nanti ada pertigaan , terus belok kiri. Empat rumah dari pertigaan kanan jalan ada pohon kelapa kuning di halamanya itu rumahnya,” jawab pak kepala dusun.
Mbok pinarak dulu to Nak Mas Arif,” tambahnya.
“ Terima kasih Pak, ini mau mengantar tamunya dulu. Kami permisi dulu, ya Pak,” ucap Arif mengakiri pmebicaraan dengan kepala dusun itu seraya melnjutkan perjalananya.

Masih dengan senter yang yang ditangan arif mereka bertiga menyusuri jalan dusun Gunung Cilik, beberapa menit kemudian sampailah dipertigaan yang dimaksud oleh pak kepala dusun tadi.  Lanhkangnya berbelok ke kiri, sambil menghitung jumlah rumah yang telah dileawti semenjak pertigaan tadi.  Setelah melewati tiga rumah terdengar suara agak gaduh disalah satu rumah yang berada di sisi kanan jalan, lampu rumah itu lebih terang dari rumah-rumah yang lain. Langkah mereka sedikit dikurangai, kemudian ustad Farhan mengajak mereka berhenti sejenak.
“ Tadi pesan pak kepala dusun empat rumah setelah pertigaan kanan jalan dan ada kelapa kuning, berarti rumah ini ya “ tanya Ustad Farhan pada Arif.
“ Iya Pak, betul rumah ini yang dimaksud tadi,” jawab Arif.
“ Baiklah, tetapi apa yang terjadi di dalam rumah ini,” tanya Ustad muda itu tanpa maksud minta jawaban dari Ahmad dan arif.
“ Hmmm...itu suara teriakan dan jerit tangisan,” ustad Arif menerka-nerka kegaduhan di rumah yang dituju.
“ Ayo kita menuju ke sana,” ajak ustad itu kepada dua temanya.


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis