Setetes Embun
Setetes Embun
( Bagian 13 habis)
Oleh Kang Bari
Kini manusia bertopeng itu berada dalam kekuasaan ustad muda, setelah terkalahkan
dalam pertarungan yang cukup seru dan
menegangkan. Rasa syukur tak
henti-hentinya dia ucapkan dalam hati atas pertolongan Allah SWT, dalam
menghadapi ujian ini. Rasa syukur itu juga beliau tunjukkan dengan cara
memperlakukan lawan yang sudah dikalahkan dengan perlakuan yang sangat
manusiawi. Manusia bertopeng itu diperlakukan seperti teman atau sahabat tidak
diperlakukan seperti musuh, sungguh beliau menunjukkan jadi diri seorang
ustad yang berakhlak mulia. Denga lembut
ustad itu bertanya pada orang bertopeng ltu.
“ Siapa kamu?” tanya Ustad Furqan
kepada orang yang dipegangnya.
“ Saya Tarno Pak Ustad,” jawab
orang itu sambil membuka tutup kepala tanpadiminta oleh ustad muda itu.
“ Darimana kamu,” selidik Furqan.
“ Saya penduduk dusun sini Pak,”
jawabnya.
“ Apa maksudmu melakukan ini
semua?” tanyanya lebuh jauh.
“ Ampun Pak....saya sakit hati
karena guru saya Mbah Wiro sudah Pak Ustad permlukan tadi di rumah Bu Sumarti,”
jelasnya sambil menunduk.
“ Ooooo...jadi kamu murid Mbah
Wiro ya,” ucap ustad muda itu sambil mengangguk-anggukkan kepala mencoba
memahami jawaban Tarno.
“ Kemudian siapa yang lari tadi?”
tanyanya lagi.
“ Itu kawan saya Pak Ustad,
namanya Karjo,” jawab Tarno dengan suara gemetar karena takut. Lalu Tarno
memegang kaki ustad muda itu dengan menghiba.
“ Maafkan saya Pak...,” pinta
Tarno.
“ Baiklah, Tarno...aku maafkan
semua kesalahanmu. Tetapi kamu malam ini harus ikut kami ke rumah Pak Kepla
Desa,” jawab Furqan.
“ Baik Pak,saya ikut saja,”
jawabnya.
Akhirnya mereka berempat malam
itu beranjak menyusuri pematang sawah menuju rumah Kepala Desa Girimulya.
Berjalan beriringan tanpa ada pengawalan
layaknya seorang tawanan, Ustad Furqan nampak akrab dengan Tarno seperti tidak
pernah terjadi pertarungan sebelumnya. Sesekali mereka tertawa saat terperosok
ke dalam lobang di pematang sawah.
Penduduk desa terlelap dalam
dekapan malam, sehingga tidak ada yang mengetahui kalau malam itu terjadi
sebuah pergulatan anatara kebatilan dan kebenaran yang diperankan oleh beberapa
warga setempat. Danyangan keramat
menjadi saksi kegigihan seorang ustad
muda dalam mengokohkan eksistensi dakwah ditengah-tengah peradaban anak bangsa
yang berpaham animisme. Suara adzan subuh menyambut kedatangan Ustad Furqan dan
teman-temanya saat memasuki pelataran rumah Kades Girimulya.
“ Asslaamu’alaikum wr wb,” ucap
ustad itu sesampainya di teras rumah joglo itu.
“ Wa’alaikumus salam wr wb,”
jawab Pak Huda yang sudah sedari tadi bangun dan bersiap-siap berangkata ke
masjid.
“ Mari-mari masuk, segera ambil
wudzu terus ke masjid,” lanjut pak kades.
Semua mengambil air wudu dan bergegas
ke masjid untuk menunaikan solat subuh kecuali Tarno, dia minta izin akan istirahat di rumah pak
kades selain capaek memang dia penganut
aliran kepercayaan.
Perlakuan ustad muda terhadap
Tarno menjadi penyejuk jiwanya, kemuliaan budi ustad betul-betul mebuka mata
hatinya. Dia tidak membayangkan akan mendapat
perlakuan sebaik itu saat terkalahkan dalam pertarungan yang begitu
sengit , yang terbayang sebelumnya adalah akan mendapat perlakuan kasar atau di
hajar habis-habisan bahkan bisa nyawanya melayang. Tetapi itu semua tidak ia
alami, sekarang ia masih bisa bersama orang yang diancam keselamatanya itu.
Rasa penyesalan menyelinap diseluruh relung hatinya, menembus lorong-lorong
sanubari, menembus kesadaran jiwanya.
Seakan-akan dia menemukan jati dirinya, menemukan fitrahnya kembali yang
selama ini tertutupi oleh kebodohan.
Dalam perenunganya itu tiba-tiba
muncul perasaan takut terhadap Mbah Wiro
guru spiritualnya, terbayang olehnya kemarahan sang guru terhadapnya. Dua kutub
kesadaran itu muncul bersamaan dalam jiwanya, terjadilah pertarungan yang
sengit dalam batinya. Akankah ia
mengikuti kesadaran fitrahnya belajar pada ustad muda atau mengikuti rasa takut
terhadap guru spiritualnya kemudian ia kembali mengulang masa-masa lalunya.
Tiba-tiba di sudut matanya mengalir bola bening kemudian membasahi pipinya,
Tarno benar-benar berada dalam kebimbangan yang sangat dalam.
Seusai solat subuh Ustad Furqan
terlihat khusyuk dalam munajatnya, tak lupa terselip doa untuk Tarno agar
dikaruniai Allah hidayah, dibukakan hatinya menerima cahaya Islam. Juga untuk
Mbah Wiro dan Karjo murid satunya yang sempat melarikan diri dari pertarungan
tadi malam semoga Allah juga membukakan kesadaran pada mereka. Seusai berdoa
mereka kembali ke rumah Pak Kepala Desa.
Setelah memasuki rumah mereka
duduk bersama di kursi ruang tengah, begitu juga Tarno. Kemudian Ustad Furqan
membuka pembicaraan dengan menceritakan semua yang telah terjadi. Betapa pak
kades terkejut dengan peristiwa itu, dan kini orang yang telah mengancam jiwa
ustad itu ada di depan mata.
“ Baiklah, Pak Ustad saya bisa mengerti dengan apa yang telah sampean ceritakan tadi. Maka dari itu
saya selaku oarng yang dituakan di desa ini mohon maaf atas kejadian ini. Mudah-mudahan
hal ini tidak akan teruang kembali di kemudian hari, ini juga menjadi pelajaran
bagi Kamu Tarno supaya tidak gegabah dalam bertindak,” demikain ucapan Hak
Hasan.
“ Saya juga mohon maaf kepada Pak
Ustad dan juga kepada Pak Kades atas
kelancangan saya, betul-betul kilaf saya pak,” sambung Tarno.
“ Pak Ustad silakan memberi saran
untuk kami semua agar kami bisa mengambail langkah untuk menghadapi segala
kemungkinan di masa yang akan datang,” pinta pak kades.
“ Baiklah, pesan saya untuk Mas Tarno..saya berharap untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan seperti itu. Kamu masih muda punya potensi, maka
manfaatkan potensi yang ada untuk melakukan kebaikan jangan menjadi pemicu
permusuhan, jangan seperti bara yang setiap saat bisa membakar apa saja yang
ada di sekitarnya. Tetapi jadilah setetes embun yang memberikan kesejukan
disaat datangnya pagi, memberikan secercah harapan ditengan-tengah keputus
asaan,” demikian ustad Furqan.
Tarno hanya menunduk mendengar
nasehat itu, air matanya tak terbendung lagi. Sesekali ia menyeka pipinya yang
basah dengan baju hitamnya.
“ Iya Pak Ustad,saya berjanji
untuk tidak mengulangi lagi. Mohon kiranya Bapak juga mau membimbing saya
belajar agama Islam,” jawab Tarno dengan suara terbata-bata.
“ Insya Allah Mas Tarno, kami
siap membingmu,” jawab ustad muda itu.
“ Selanjutnya Pak Hasan, kami
mohon di fasilitasi untuk menyelesaikan masalah ini dengan sesepuh kita Mbah
Wiro, bagaimanapun beliau adalah orang yang dituakan di desa ini,” pintanya
kepada kepala desa.
“ Insya Allah kami siap
menyelesaikan maslah ini,” jawaban Pak Hasan meyakinkan ustad Furqan.
Mentari semakin jauh meninggalkan bukit Argapura, aktifitas
warga desa mulai menggeliat. Siulan burung dan kepak kupu-kupu mengiringi
kepergian ustad muda itu kembali ke kota
setelah semalam suntuk menghabiskan perjalananya di desa Girimulya. Deru moge
ustad melesat dijalan menuju kota
Argamakmur.
Selesai
Komentar
Posting Komentar