Setetes Embun

Setetes Embun
( Bagian 10 )
Oleh Kang Bari

Menembus gelapnya malam menyusuri jalan di Dusun Gunung Cilik bersama nyanyian jengkerik dan alunan senandung malam katak sungguh sangat terasa sangat indah bagi Ustad Furqan bertiga. Ada terselip dalam hati rasa syukur yang mendalam  setelah Alloh memberikan pertolongan dalam proses ruqyah malam ini di rumah Sumarti. Perjalanan pulang dari Dusun Gunung Cilik yang baru pertama kalinya dikunjungi ini  membukakan mata hatinya sebagai seorang dai muda untuk lebih giat lagi menyapa umat. Kalau selama ini berdakwah di perkotaan yang masyarakatnya relatif terpelajar dan mudah menerima pembaharuan, tetapi ini adalah masyarakat desa yang terbelakang secara pendidikan dan cenderung jumud. Ada satu hal yang mereka miliki dan itu orisinil yakni keluguan mereka dalam merespon setiap perubahan.  Ini tantangan baginya, tetapi tantangan ini harus dirubah menjadi peluang.

Tanpa terasa perjalanan mereka sudah berada di penghujung pemukiman waraga, senter yang di tangan Arif adalah satau-satunya penerang mereka. Sebentar lagi perjalann ini akan memasuki kawasan perkebunan ubi dan jagung yang jauh dari pemukiman. Tidak banyak berbicara diabtar mereka bertiga, hanya seskali Arif memberikan isyarat jalanya becek atau berlobang. Di ufuk timur mulai nampak sinar kemerahan menyembul di puncak gunung Argapura pertanda sang Dewi malam menampakkan dirinya, karena saat ini sudah masuk tanggal 20 bulan Syafar.

Angin sepoi-sepoi mengiringi langkah mereka bertiga menyusuri pematang sawah di pinggiran Gunung Cilik. Memasuki area pemakaman umum suasana semakin sunyi, hanya nyanyian burung hantu yang terkadang mengiringi langkah mereka. Tidak satu pun warga yang di jumpai selama perjalanan meninggalkan kawasan pemukiman, betul-betul sebuah perjalanan yang sangat sunyi.

Tiba-tiba Arif mengaduh, tubuhnya terperosok ke dalam sering yang berada di ujung pemakaman umum. Untung saja tempat  itu tidak berair dan kedalamnya sekitar satu setengah meter. Segara ustad muda dan Ahmad memberikan pertolongan dengan menarik tubuh Arif yang masuk ke dalam sering itu. Sekali tarikan saja tubuh Arif sudah muncul kembali di pematang sawah.
“ Bagaimana Mas Arif, ada yang terasa sakit apa tidak?’  tanya Ustad Furqan.
“ Ini kaki pergelangan kaki  kiri saya terasa sakit , mungkin keseleo Pak Ustad,” jawab yang di tanya sedikit gemetar.
“ Yang Lain tidak terasa sakit?” tanyanya lagi.
“ Alhamdulillah tidak Pak,” jawab anak Pak Kades itu.
“ Oh ya...kita nyalakan senternya dulu” usul Ahmad.
“ Waduh, senternya terlepas saat terjatuh tadi,” jawab Arif menanggapi usul Ahmad.
“ Kalau begitu biar saya dulu,” sela Ahmad. Kemudian ia meraba-raba lokasi tempat terjatuhnya Arif tadi untuk mencari senter.
“ Bagaimana ketemu Mad?” tanya Ustad Furqan.
“ Belum Paman, sabar dulu,” jawab keponakan ustad itu.
“ Nah ini dia...,” berteriak kegirangan Ahmad menemukan senter. Tetapi tidak kemudian dia berucap,” Wah...sial ternyata senternya pecah bagian kacanya dan bola lampunya juga hancur,” dengan nada sedih.
“ Mas Arif coba berdiri,” pinta ustad. Kemudian afir mencoba berdiri.
“ Aduh, sakit sekali,” keluh Arif. Kemudian Furqan meraba pergelangan kaki Arif ternyata bengkak.
“ Saya rasa ini sedikit keseleo mas,” terka ustad.
“ Ya sudah tidak apa-apa kita berjalan perlahan-lahan saja, sambil kita bantu dengan tongkat juga kita bimbing  biar sedikit mengurangi beban kaki mas Arif,” hibur ustad muda itu kepada anak pak Kades.
“ Ttoh itu rembulan sudah mulai kelihatan, mudah-mudahan aman ” demikian ustad Furqan.

Kemudian mereka bertiga melanjutkan perjalanan, sementara Arif sedikit terpincang-pincang menggunakan bantuan tongkat karena kaki kirinya keseleo. Kali ini tanpa senter lagi, hanya mengandalkan bantuan sinar rembulan yang juga tidak begitu terang karena sebagian juga tertutup mendung. Perjalanan semakin terasa gelap karena memasuki kawasan danyangan  terdiri dari  beberapa pohon beringin besar yang cukup rindang daunya dan kanan kiri jalan berbaris pohon akasia. Sehingga sinar rembulan tidak menembus jalan yang dilalui.
Bersambung...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Abadi

Hamid

Pelukis