Setetes Embun
Setetes Embun
( Bagian 9 )
Oleh Kang Bari
Diterangi beberapa lampu minyak
yang menempel di dinding ruangan, tungku pembakaran kemenyan di salah sudut terus mengepul menebarkan aroma kemenyan
semakin menambah suasana magis. Satu setel meja kursi ukir dari kayu jati berbentuk
ular naga pada setiap tangan kursi dan kepala raksasa pada sandaranya tersusun
di tengah ruangan besar rumah joglo itu. Ada dua hiasan berupa tengkorak kepala
rusa lengkap dengan tanduknya di tempel pada tiang utama, dua ekor trenggiling
yang diawetkan juga di tempel bagian dinding sebelah kanan. Beberapa tombak
ukuran kurang lebih 2 meter berdiri di sudut ruangan dekat pintu masuk menuju
ruang utama.
“ Kurang ajar,” ucap Mbah Wiro
begitu memasuki ruang itu seraya menghempaskan pantatnya di kursi sambil
memukul meja. Tergurat di wajah lelaki itu kekecewaan yang mendalam juga malu
yang tidak bisa lagi tertebus dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
“ Karjo! Tarno! Kemari,” panggil
mpunya padepokan itu sambil melotot dan ekspresi geram.
Bergegas yang di panggil duduk bersimpuh dihadapan
tuanya sembari menundukkan kepala.
“ Iya Mbah,” jawab mereka berdua
dengan wajah pucat.
“ Bagaimana kalu malam ini kita
bikin perhitungan dengan anak muda itu,” tanya lelali tua itu.
“ Maksud Mbah panggil anak muda
itu,” pertanaan Karjo.
“ Goblok! “ bentak Mabh Wiro.
“ Maaf Mbah...bagaimana maksud
Mabah?” tanya Tarno.
“ Kamu berdua ini memang goblok!
, kamu cegat anak muda itu, kamu hajar biar tahu diri,” bentaK gurunya dengan
nada tinggi, kemudian terbatuk-batuk karena tidak bisa menahan emosi.
“ Siap Mbah, tapi kami minta
jimat untuk melawanya,” jawab Karjo.
“ Dimana menghadangnya Mbah?”
tanya Tarno.
“ Karjo, Tarno sekarang begini,
kita atur strateginya” ucap guru spiritual itu.
“ Iya Mbah, kami ikut saja,”
jawab mereka berdua.
“ Kamu Karjo, saya beri keris
ini, ambilah!” seraya menyerahkan keris yang diambil dari dalam kotak
penyimpanan benda pusaka.
“ Terus Kamu Tarno, saya beri pecut ,” sambil menyerahkan seutas
cambuk.
“ Kamu berdua berangkat ke
danyangan, disana kamu bikin perhitungan
dengan anak muda itu, menegerti kalian?” tanya Mbah Wiro.
“ Mengerti Mbah,” jawab Karjo dan
Tarno.
“ Jangan tunggu lama-lama, kalian
berangkat aku membantu dari rumah dengan bersemedi di tempat pemujaan,”
perintah sang guru kepada mereka berdua.
Tapa membuang waktu Karjo dan
Tarno segera mohon pamit, melesat meninggalkan rumah gurunya menyusuri gelapnya
malam. Satu tekad yang membara mambalas ustad muda yang telah mempermalukan
gurunya. Sementara Mbah Wiro masuk dalam ruang pemujaan, duduk bersila mata
terpejam mulut komat-kamit membaca mantra, tangan kananya menaburkan kemenyan
kedalam tunggu dengan bara yang memerah. Arap mengepul memenuhi ruangan itu,
bau kemenyan menyeruak membumbung tinggi mengiringi mantera-mantera yang di
lantunkan guru sepritual itu. Kemudian tanganya menari-nari di atas bara
menyelinap diantar kepulan asap kemenyan, jiwanya larut dalam lantunan
mantera-mantera.
********************************
Dirumah Sumarti, sesudah semua
tamu pamit Parto baru menyadarai tentang keberadaan Mbah Wiro. “ Lo..kemana
Mbah Wiro tadi ya,” tanyanya kepada Sumarti
“ Waduh...aku tidak tahu ta Mas,”
jawab adiknya.
“ Waduh celaka ini...kenapa
sampai terlupakan semua,” gerutu kakak Sumarti itu.
“ Ya sudah lah mas, besuk saja ke
rumah Mbah wiro, kita berdua ke sana mita maaf,” usul sumarti
“ Sekarang sudah malam, beliau
juga perlu isturahat,” lanjut adik Parto.
Dengan sedikit cemas bercampur
takut akhirnya Parto mengiyakan usul adiknya.
“ Ya baiklah, kita besuk ke sana
berdua,” jawab Parto.
Kemudian mereka seisi rumah pun
membereskan ruangan tempat ruqyah tadi, stelah semua selesai mereka
beristirahat karena hari sudah cukup larut malam.
********************************
Dua bayangan hitam itu melesat di
kegelapan malam menyusuri sunyinya dusun Gunug Cilik menuju danyangan , tidak banyak berbicara
mereka berdua hanya sesekali menggunakan bahasa isyarat. Jalan setapak yang
mereka pilih malam itu untuk meghindari bertemu dengan warga stempat. Sementara penduduk sekitar sudah terlelap
dalam tidur malamnya, hanya suara jangkrik dan katak yang mengiringi langkah
mereka berdua. Seekali lolongan anjing membelah sunyinya malam.
Pemukiman warga terlewati sudah,
sekarang jalanan memasuki area perkebunan jagung dan ubi. Karjo dan Tarno
memlilh jalan pintas menuju danyangan dengan mengikuti saluran
irigasi. Tak asing lagi bagi mereka berdua melewati jalan ini, karena memang
sudah terbiasa melewatinya saat mengikuti gurunya mengadakan permohonan di tempat
ni. Beberapa saat kemudian mereka sampailah di tempat yang dituju, bernapas
lega karena bisa sampai tempat tujuan tanpa ada kendala. Segera mereka mengatur strategi peyergapan malam itu.
Komentar
Posting Komentar