Setetes Embun
Setetes Embun
(Bagian 4)
Oleh Kang Bari
Seuasai menjadi imam solat mgahrib di masjid depan rumah, Ustad Furqan segera
meninggalkan masjid. Sesampainya di rumah ia cepat menaggalkan jubahnya
berganti mengenakan baju koko warna putih dan celana warna hitam kemudian
memakai jas kulit warna coklat. Sang istri sudah menyiapkan helm dan tas yang
berisi Al Quran dan peci putih yang biasa ia bawa kalau pergi. Setelah
berpamitan kepada istrinya ia menuju garasi mengambil motor gede yag biasa ia
pakai kalau pergi, sejenak dipanasi motor itu sembari menunggu Ahmad anak kakak
tertuanya yang biasa menemani kalau
sedang bepergian.
Motor gede itu kemudian melaju di
jalan raya dengan kecepatan sedang, menuju desa Girimulya tempat Sumarti yang
tadi siang minta pertolongan untuk meruqyah anaknya. Jalanan lumayan ramai
karena seiring anak-anak sekolah sore juga sedang perjalanan pulang juga.
Mereka berdua tidak banyak bercakap-cakap selama perjalanan. Melewati beberapa
desa dan lahan persawahan serta hutan jati sebelum memasuki desa dimana Sumarti
tinggal. Laju motor sedikit dikurangi setelah memasuki batas desa gGirimulya,
Ustad Furqan dan Ahmad dengan seksama memerhatikan papan nama rumah kepala
desa, karena dalam keterangan yang diberikan Sumarti rumahnya masuk gang dekat
rumah kepala desa.
“ Itu paman,” teriak Ahmad
menghentikan Ustad Furqan dalam memacu sepeda motornya. Kemudian motor itu
betul-betul berhenti dan rupanya sudah kelewat beberapa puluh meter dari rumah
kepala desa, lalu mereka berbalik arah emnuju rumah yang dimaksud. Rumah joglo dengan ukuran besar berdiri megah
dengan sekelingnya penuh tanaman bunga yang terawat dengan rapi. Halaman rumah
berupa paping blok bentuk persegi enam yang terlihat belum lama dipasang. Pintu
gerbangnya besi stenlis dan dengan bangunan joglo
juga serta tergantung papan nama rumah kepala desa. Mereka berdua turun dari
sepeda motor kemudian meinekan tombol bel yang ada di pintu gerbang, karena
pintu memang sudah ditutup.
Beberapa menit kemudian keleuar
dari rumah itu seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar mengenakan hem batik
dengan dominasi warna merah dan coklatdan sarung kotak-kotak hitam dan merah
juga peci hitam. Seraya Ustad Furqan mengucapkan salam,” Assalaamu,alaikaum.”
Seraya lelaki itu menjawab,”
Wa,alaikumus salam wr wb.”
Kemudian lelaki itu membuka kunci
pintu gerbang lalau mendorng pintu itu seraya mempersilakan tamunya untuk
memasuki halaman rumah. Ustad Furwan pun memasuki halaman rumah itu seraya
melepas helm yang menutupi wajahnya, kemudian mengulurkan tanganya kepada tuan
rumah.
“ Saya Furqan,” begitu dia
memperkenalkan dirinya, “ Dan ini keponakan saya namanya Ahmad,” sambil
menunjuk ke arah pemuda yang ada di sampingnya.
“ Saya Hasan, kepala desa di
sini,” jawab lelaki itu kemudian mengajak tamunya masuk ke rumah.
Mereka bertiga masuk ke ruang
tamu rumah kepala desa itu, ruangan itu begitu luas. Di tengah ruangan itu
berdiri empat tiang utama rumah joglo
, berbahan kayu jati dengan ukiran jepara yang sangat halus. Ada beberpa setel kursi di sediakan dalam
ruangan itu mulai dari bahan kayu jati sampai kursi sofa. Dibagian diding
tepatnya di atas pintu masuk rumah belakang dipasang satu set lambang
kenegaraan. Di sebelah kanan ruangan ini ada rak buku yang cukup besar dengan
koleksi buku yang lumayan banyak, nampaknya pak kepala desa ini orang yamg
terpelajar atau setidaknya punya hobi membaca. Ada beberapa kaligrafi dengan
ukuran yang cukup besar juga, berbeda dengan kebanyakan kepala desa yang biasa
dengan koleksi wayang kulit di rumahnya.
“ Silakan duduk nak,” pinta pak
Hasan kepada tamunya itu. Kemudian
mereka bertiga duduk di kursi yang berada di tengah ruang tamu itu.
“ Maaf ini smpean berdua dari
mana,” tanya kepala desa selanjutnya.
“ Begini Pak Kades, saya dari
Argamakmur mau ke rumah iIbu Sumarti. Tadi diberi arahan untuk berhenti di rmah
bapak sini,” jawab Furqan.
“ O begitu, apakah sampeyan berdua sudah mengetahui kalau
anak ibu itu sedang sakit?” tanya hasan lebuh jauh.
“ Justru itu lah Pak , kedatangan
kami kemari karena Ibu Sumarti minta tolong untuk membantu pengobatan anaknya,”
tandas Furqan.
“ Kalau begitu sampean ini Ustad
Furqan yang sering mengisi acara pengajian dan tanya jawab sekitar ruqyah di
radio swasta itu ya,” seru Hasan dengan
nada gembira karena bisa bertemu langsung dengan ustad idolanya.
“ Masya Alloh, saya tidak menduga
bisa bertemu ustad idola saya,” seraya berdiri lalu menghampiri dan menepuk-nepuk bahu Furqan
yang duduk bersebelahan denganya.
“ Begini Pak Ustad, nanti sepeda
motor itu kita tinggal di sini karena ke rumah ibu itu harus melipir melewati
pematang sawah yang tidak bisa dilewti sepeda motor. Kemudian melingkar di kaki
gunung cilik di ujung desa ini barulah sampai di tempat tujuan,” papar Pak
Kepala Desa dengan bersemangat.
“ Tapi mohon maaf saya tidak bisa
mengantarkan, biar nanti anak saya yang laki-laki menemani ustad ke sana”
tandasnya. Kemudian Hasan memanggil anak laki-lakinya.
“ Arif, nanti kamu antarkan Ustad
Furqan ini ke rumah Ibu Sumarti. Jangan lupa bawa senter karena sudah gelap,”
perintah Hasan kepada Arif.
Kemudian terdengar kumandang
adzan dari masjid lalu Pak Hasan mengajak mereka semua menuju masjid untuk menunaikan
solat isya. Berangkatlah mereka berempat menuju masjid yang tidak jauh dari
rumah Pak Kepala Desa.
Bersambung.......
Komentar
Posting Komentar