Setetes Embun
Setetes Embun
( Bagian 3 )
Oleh Kang Bari
Rumah Joglo berukuran 8 X 8 M ² kelihatan kokoh berdiri dengan halaman luas,
di sinilah Parto tinggal yang merupakan kakak kandung dari Sumarti. Sore itu
dia menemui kakaknya untuk memberi tahu kedatangan ustad yang akan meruqyah
anak laki-lakinya nanti malam setelah solat Maghrib. Di ruang bale yaitu ruang tempat menerima tamu
bagi masyarakat jawa ia menemui Parto. Ada satu setel kursi berbahan kayu jati
di tengah bale berada ditengah-tengah
tiang utama rumah Joglo di atasnya
tergantung lampu kuno yang dikenal dengan lampu gandul . Di dinding terpampang beberapa wayang kulit dengan
sunggingan yang cukup halus. Ruang itu begitu luas karena tidak ada sekat kamar
sama sekali. Di pojok kanan bagian ruang itu ada satu setel gamelan jawa
berbahan perunggu yang nampak terawat dengan rapi.
“ Mas, nanti setelah solat maghrib
saya minta sampeyan ke rumah. Sebab
saya mengundang Ustad Furqan untuk mengobati Seno,” kata Sumarti membuka pembicaraan setelah
bertemu dengan kakak kandungnya.
“ Memang siapa yang mengundang ustad
itu?” tanya Parto pada adiknya.
“ Ya aku sendiri Mas,” jawab Sumarti.
“ Mengapa tidak izin dulu dengan aku?”
sergah Parto dengan nada nampak kecewa.
“ Bukankah kemarin kita sudah
mengundang Mbah Wiro dan belum ada
pasrahnya kepada kita,” lanjut Parto.
“ Iya Mas, tapi karena tidak kunjung
sembuh dan Mbah Wiro juga tidak
datang-datang lagi aku mengambil keputusan sendiri mengundang ustad ini,” jawab
Sumarti meyakinkan Parto.
“ Aku kan binggung to Mas, maafkan aku
Mas kalau tidak izin sampeyan,” jawab
ibunya Seno.
“ Makanya kalau mau bertindak itu
harus dimusyawarah dulu, padahal aku tadi juga ke rumah Mbah Wiro supaya malam ini datang ke rumahmu,” jawab kakaknya.
“ Terus bagaimana mas ?” tanya
adiknya.
“ Ya sudah. Nanti biar aku yang
mengatur, kalau memang semua hadir biar bergantian
yang mengobati Seno,” jawab Parto dengan bijak.
“ Yang penting persiapkan syarat yang
diperlukan oleh Mbah Wiro seperti
tempo hari,” lanjut kakaknya.
“ Terima kasih Mas, kalau begitu saya
pamit dulu ya Mas,” lantas ia pergi meninggalkan rumah kakaknya.
Sepanjang perjalanan pulang Sumarti
merasa binggung bagaimana nanti kalau
Mbah Wiro kurang berkenan dengan hadirnya Ustad Furqan. Dia juga merasa
tidak enak dengan ustad itu juga. Dalam hati ia pasrah kepada Allah,
mudah-mudahan memberi jalan yang terbaik. Sesampainya di rumah, Sumarti di
bantu ibunya mempersipakan semua
keperluan yang dibutuhkan untuk prosesi pengobatan Seno oleh Mbah Wiro. Hari semakin sore cuaca cukup
cerah, secerah harapan Sumarti dan keluarganya mengharapkan kesembuhan Seno
putra satu-satunya. Di ufuk barat langit berwarna merah saga, kelelawar mulai
beterbangan keluar dari persembunyianya pertanda saat magribpun semakin dekat.
Tidak lama kemudian terdengar dari kejauhan sayup-sayup suara adzan
berkumandang pertanda saat solat maghrib tiba.
Seusai solat maghrib Parto kakak
sumarti tiba bersama istrinya disambut oleh ibunya, kemudian mereka berkumpul
diruang keluarga sambil menunggu Mbah Wiro dan Ustad furqan. Tidak lama
kemudian terdengar orang memberi ucapan “kulonuwun,”
segera Parto menjawab “ Mangga” dan mempersilakan masuk. Ternyata yang
datang adalah Mbah Wiro dan dua orang pembantunya, seorang paranormal yang
tidak asing lagi bagi warga desa Girimulya. Lelaki tua dengan janggot yang
memutih mejuntai itu mengenakan ikat kepala berwarna hitam, baju tanpa kerah
warna hitan dan juga celana tiga perempat warna hitam juga.
Setelah dipersilakan masuk para normaldan pembantunya itu mengambil dudk
di kursi sebelah kanan ruangan tamu.
Sejenak kemudin ia mengeluarkan pipa
penghisap rokok cerutu dan korek api kemudian ia menyalakan rokok kesukaanya. Asap mulai mengepul memenuhi
ruangan rumah Sumarti, dengan aroma yang sangat khas, sambil sesekali ia
terbatuk-batuk. Wajahnya sudah kelihatan keriput karena memang usianya sudah
diatas 80 tahun. Saat Mbah Wiro
mengangkat tangan menikmati hisapan cerutunya nampak di pergelangan tangan
kananya melingkar beberapa gelang dari
akar bahar yang menambah kesan magis pada diri paranormal itu.
Sumarti mengeluarkan beberapa piring
kue bikinan sendiri dan beberapa cangkir kopi untuk tamunya dan Parto kakaknya.
Segera Parto mempersilakan Mbah wiro dan pembantunya menikmati kue alakadarnya
dan kopi yang telah disuguhkan adiknya. Sejenak kemudian mereka berdua menikati
kopi sambil bercengkerama, sebelum acara prosesi pengobatan terhadap Seno
dimulai. Sementara Sumarti dan kakak iparnya yakni istri Parto mempersiapkan
syarat yang diminta Mbah Wiro untuk pengobatan anaknya. Syarat yang diminta itu
adalah, tujuh jenis kembang, kelapa gading,
tebu wulung, menyan atau dupa, tempat
membakar dupa, dan sapu lidi.
Sesudah beberapa saat menikmati kopi
maka dimintalah Seno yang dari tadi masih di kamar untuk di bawa ke ruang tamu,
guna dimulai prsose pengobatan. Dia tidak menampakkan keanehan ketika diajak ke
ruang tamu, masih biasa-biasa saja bahkan masih bisa diajak komunikasi oleh
semua yang hadir. Begitulah kondisinya kalau tidak sedang kambuh penyakitnya.
Anak laki-laki Sumarti itu diminta duduk bersila di lantai yang beralaskan
tikar, kemudian Mbah Wiro berada di hadapanya sedang para pembantunya berada di
dekat yang akan diobati. Semua perlengkapan pengobatan dibawa di hadapan
parnormal itu.
Mbah Wiro mulai menaburkan kemenyan
pada tungku yang ada di hadapanya, mulutnya komat kamit membaca mantera. Asap
mulai mengepul memenuhi rangan tamu rumah Sumarti, bau menyengat membuat
terbatuk-batuk beberapa orang yang hadir. Kembang tujuh rupa yang dimasukkan
toples bersama air mulai dipercikkan ke wajah Seno yang duduk mematung di
hadapan san paranormal. Tiba-tiba anak lelaki itu mengaum seperti harimau
tubuhnya bergetar dan langsung merangkak ke arah Mbah Wiro. Seakan-akan hendak
menerkam paranormal tua itu, sejenak kemudian tungku tempat membakar kemenyan
itu di lempar oelh Seno. Paranormal
itupun terkejut dan segera menghindar, hampir saja ia terkena lemparan bara
yang asih merah itu.
Suasana benar-benar kacau, Seno terus
merangsek mengejar Mbah Wiro. Sementara lelaki tua itu semakin terjepit di
pojok ruang tamu, segera Parto mengabil langkah menangkap tubuh keponakanya
yang semakin mendekati Mabh Wiro. Tetapi kekuatan Seno tidak sperti kekuatan
manusia normal, Parto pun dilempar olehnya sehingga terpelanting di lantai.
Segera Parto bangkit dan di bantu pembantu Mbah Wiro menangkap tubuh Seno. Kali
ini betul-betul ia mengerahkan seluruh kekuatanya untuk bisa menghentikan
langkah Seno yang sudah membahayakan keselamatan Mbah Wiro. Sementara sang
dukun berdiri kecut di pojok ruang tamu karena tida ada ruang untuk bisa lolos
dari kejaran anak lelaki itu. Sumarti hanya bisa menagis melhat kejadian yang
mencekam itu.
Bersambung.......
Komentar
Posting Komentar