Setetes Embun
Setetes Embun
( Bagian 7)
Oleh Kang Bari
Sementara ada yang terlupakan
oleh Parto dan keluarga besarnya setelah kehadiran ustad muda itu, yakni Mbah
wiro dan dua anak buahnya. Karjo salah satu anak buah Mbah Wiro yang sedari
tadi mendengarkan ceramah ustad itu tiba-tiba memberi isyarat pada Tarno dengan
kerlingan mata. Lalu disambut dengan
anggukan oleh Tarno, kemudian tanpa di ketahui oleh warga yang hadir mereka
berdua hilang dari kerumunan itu. Sambil melirik kesana-kemari mencari gururnya
mereka berdua tidak mendapatkan lelaki tua itu diantara kerumunan orang banyak
di rumah itu. Sementara Mbah Wiro sudah dari tadi meninggalkan tempat itu,
dengan membawa rasa malu karena merasa tidak berhasil mengobati Seno malam itu.
Langkah mereka berdua semakin
dipercepat untuk mengejar Mbah Wiro di kegelapan malam, umpatan dan cacian
terus mengalir dari lisan mereka terhadap ustad muda tadi.
“ Kurang Ajar, sok jagoan amat
itu anak muda,” ucap Karjo.
“ Benar itu Kang, membuat malu
saja orang itu,” balas Tarno geram.
“ Ayo cepat dikit jalanya , Mbah
Guru belum kelihatan nih,” seru Karjo sambil setengah berlari.
“ Ya mudah-mudah belum jauh di
depan kita,” timpal tarno juga sambil mempercepat langkahnya juga.
“ Kalau perlu kita buat
perhitungan dengan anak muda tadi,” usul Karjo.
“ Ya jelas to Kang , kita sudah
dipermalukan masa diam saja,” balas Tarno tidak kalah serunya.
Dengan napas yang terengah-engah
mereka berusaha mengejar Mbah wiro yang sudah lebih dahulu meninggalkan rumah
Sumarti. Ada perasaan yang menyelinap dalam dada mereka setelah beberapa saat
mengejar langkah gurunya belum juga di dapatkan lelaki tua itu di hadapanya.
Sejurus kedeppan terlihat bayang-bayang hitam yang bergerak tertatih-tatih
terus melaju. Langkah Tarno dan Karjo dipercepat lagi, benar dugaan mereka
ternyata bayangan hitam itu adalah Mbah Wiro.
“ Mbah-mbah, tunggu,” teriak
Karjo bermaksud menghentikan langkah lelaki tua yang di hadapanya. Tetapi
lelaki itu tidak mempedulikan panggilan anak buahnya itu. Tetap saja Mbah Wiro
melaju dengan langkahnya yang memang suda tidak tegap lagi. Beberapa menit
kemudian mereka bertiga sudah berjalan berinringan.
“ Kenapa kalian mengejar aku,
bukankah tidak lebih baik kamu tetap di sana biar terus dipermalukan oleh anak
muda itu,” ucap lelaki itu pada pembatunya berdua.
“ Ya tidak begitu to mbah, aku
juga masih punya harga diri makanya mengejar mbah ini tadi,” jawab Tarno.
“ Saya tadi mecari-cari mbah
tidak kelihatan, ya terus pulang ini,” sela Karjo.
“ Ah...sudahlah jangan banyak
bacot,” ujar Mabh Wiro dengan nada kesal.
Mereka bertiga terus berjalan
menembus kegelapan malam di dusun Gunung Cilik. Hembusan angin malam tidak
mereka rasakan karena terbakar perasaan
malu dengan kejadian beberapa saat di rumah Sumarti tadi. Berkecamuk di angan
mereka bertiga upaya untuk melampiaskan kekecewaan itu. Perjalanan ke padepokan
Mbah Wiro yang hanya berjarak delapan
ratus meter itu terasa sangat jauh mereka tempuh. Gelapnya malam itu
semakin menambah gelap hati mereka bertiga. Badai itu tidak pernah mereka perhitungkan
sebelunmnya, karena memang selama ini selalu berhasil mengobati dengan cara
yang mereka pergunakan.
Kejadian tadi betul-betul membuat
Mbah Wiro seorang paranormal tersohor di dusun itu terpukul, karena
dipermalukan di hadapan warganya sendiri. Sudah puluhan tahun kharismatik yang
dia bangun tiba-tiba runtuh begitu saja, bagaikan tsunami yang meluluh-lantakan
pantai dan gedung-gedungnya. Perasaan malu, terhina, kecewa, dan marah
bercampur menjadi satu. Apa lagi kejadian itu hanya berhadapan dengan seorang
anak yang masih bau kencur menurut pandangan paranormal senior itu.
Lelaki tua itu napasnya semakin
terengah-engah karena pengaruh emosi yang meluap-luap dalam dirinya, kemudian
dia mengajak anak buahnya untuk berhenti sejenak karena merasa haus.
“ Karjo, coba kamu minta air
minum di rumah Darsono itu,” perintah Mbah Wiro pada anak buahnya.
Kemudian yang diperintah segera
menuju rumah yang dimaksud, kebetulan memang pitunya masih buka. Sementara
Tarno menemani gurunya berhenti di gardu ronda yang berada di dekat
persimpangan tiga, sambil mengipas-ngipaskan bajun yang dicopot karena
kepanasan. Beberapa menit kemudian Karjo sudah membawa satu botol air minum,
segera ia berikan kepada gurunya.
“ Mangga Mbah, ini minumnya,”
ucap muridnya memberikan botol air minum dengan sedikit menundukkan badan.
Segera botol itu berpindah tangan, dengan hati-hati lelaki tua
itu mium sambil sedikit menenangkan napasnya. Kemudian mereka bertiga
bergantian minum dari botol itu untuk mengusir rasa haus.
Selesai minum, barulah mereka
bertiga melanjutkan perjalanan dengan sedikit tenang. Langkah mereka semakin
terasa berat karena beban pikiran, meskipun perjalanan tidak jauh lagi. Satu,
dua, tiga rumah sudah terlewatkan dari areal kebun jagung di dusun itu yang
bertanda tidak lama lagi akan sampai di
padepokan. Suasana semakin terasa sunyi karena memang sudah menunjukkan pukul
21.00, selain itu letak padepokan ini memang jauh dari rumah warga lainya.
Dengan perasaan letih sampailah
mereka bertiga di padepokan. Di tempat inilah sudah puluhan tahun sang guru mengajarkan ilmu kepada
murid-muridnya. Segera mereka menghilang di balik pintu gerbang padepokan.
Suasana magis sangat terasa begitu memasuki pintu gerbang, bau kemenyan
menyeruak di segala penjuru padepokan. Di kanan kiri pintu diterangi dengan
obor terbuat dari bambu sebesar lengan orang dewasa juga terdapat tungku pembakaran dupa yang selalu
mengepul. Gapura berupa rumah joglo ukuran mini dengan atap ijuk dan tiang
terbuat dari kayu jati bulat.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar