Pemulung Tua

Pemulung Tua
Oleh Kang Bari


Pak Tua itu sedang membetulkan ikat pinggangnya yang terbuat dari tali plastik, sambil mengempit karung lusuh di ketiak sebelah kanan. Celananya panjang sebelah, di bajunya terdapat beberapa tambalan dengan jahitan yang panjang-panjang karena dijahit dengan jarum tangan. Sepatu bot yang membungkus kainya pun sudah sobek pada bagian tumit kirinya. Tubuhnya sedikit bungkuk jalanya agak pincang, janggutnya sedikit menjuntai. Rambut yang sudah hampir tidak ada lagi yang hitam ditutup dengan topi bulat yang cukup usang juga.  Karung itu kemudian berpindah ketangan kiri, tangan kanan sibuk memumungut barang bekas.

Tumpuk demi tumpuk sampah di korek memakai gancu yang di tangan untuk mendapatkan isi karungnya. Sesekali berdiri meluruskan pinggang dan menyeka keringat yang membasahi muka yang keriput termakan usia. Kemudian mengambil botol air minum dari tas cangklong yang setia menempel di bahu kirinya. Seteguk air membasahi kerongkongan, alhamdulillah ucapnya lirih. Mentari tepat di atas kepala, karung pak Tua sudah penuh. Kemudian dia  berjalan menuju ke  bawah pohon di pinggiran TPA  sambil menggendong karung lusuhnya yang sudah penuh. Sesampainya  di sana ia duduk bersandar batang akasia yang sedikit rindang karena daunya sudah mulai berguguran. Dihelanya napas dalam-dalam, karung yang sudah berisi  barang bekas di letakkan di sebelah kanan. Diambilnya karton bekas dari dalam karung seukuran buku kemudian di kipas-kipaskan ke tubuhnya untuk mengusir sumuknya cauaca siang itu seraya membuka topi.

Lelaki tua itu membuka tas, mengeluarkan bungkusan lalu mencuci tangan dengan air dari botol. Kemudian bungkusan itu dibuka lalu tangan kananya mulai  memindahkan nasi dari bengkusan itu ke mulutnya. Baru beberapa suap ia makan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil memanggil,” Kakek-Kakek aku ikut makan!” suara cadel itu menghentikan aktifitasnya.
“ O...cucuku, mari-mari...kita makan bersama sayang,” jawab Sang Kakek. Tak lama kemudian bocah lucu anak teman pemulung itu pun makan bersama Pak Tua bahkan di suapi olehnya.
“ Enak ya Kek,” sela bocah itu.
“ Tentu sayang, enak sekali,” akhirnya Pak Tua itupun tidak jadi makan karena harus di berikan kepada bocah lucu itu.
“ Terima kasih ya Kek, Kakaek baik sekali,” kemudian bocah itu ngeloyor meninggalkan Pak Tua sendirian.
“ Sama-sama cucuku, “ jawab Pak Tua, sembari membuang kertas bungkus nasi.



Suara adzan dzuhur berkumandang dari mushala dekat TPA, Pak Tua melangkahkan kakinya menuju sumber suara. Tak lupa membawa tas cangklong yang senantiasa menemani kemana pun ia melangkah. Sudah menjadi kebiasaan dia selalu merapikan sandal para jamaah yang hadir di masjid unutk shalat demikian juga saat ini sehingga terlihat rapi. Tidak banyak orang yang telah hadir mushala itu, sehingga tak perlu antri untuk masuk ke kamar kecil. Pak Tua mandi sebentar untuk membersihkan diri, keluar dari kamar mandi sudah mengenakan sarung dan baju yang lumayan bersih meskipun tidak bisa dibilang bagus. Tidak ketinggalan peci hitam yang sudah agak pudar telah menutup kepalanya. Melangkah masuk mushala, sembari memberi salam orang-orang yang sudah berada di dalamnya. Mengambil shap paling depan di sudut kanan ia mengikuti shalat dhuhur berjamaah. Seusai solat ia larut dalam doa-doanya, nampak berlinang air matanya sehingga membasahi janggutnya yang sudah separoh memutih. Selesai berdoa kemudian Pak Tua membuka tas dan terlihat mngeluarkan mushap Al Quran, lalu mengenakan kacamata. Sejenak  kemudian lisanya khususk melantunkan ayat-ayat suci  Alquran dengan tartil, meskipun suaranya serak-serak terkadang terputus oleh batuk. Dua halaman sudah ayat AlQuran dibacanya, kemudian ditutup mushab itu.

Tidak disadari oleh Pak Tua sejak  masuk masjid ada seseorang yang memperhatikan, hingga akhirnya orang itu telah duduk di belakangnya yang khusyuk membaca AlQuran.
“ Assalaamu’alaikum,” suara itu mengagetkan sesaat ia memasukkan AlQuran ke dalam tas.
“ Wa’alaikumus salam ,” jawab Pak Tua nampak kaget.
Kemudian orang itu mengulurkan tangan seraya menjabat tangan Pak Tua yang masih kelihatan gugup, sambil memperkenalkan diri,” Saya Nasrun.”
“ O iya...saya Hamid,” jawab Pak Tua sambil membetulkan posisi duduk, dan melepas kaca mata yang  sudak plus 5 itu.
“ Bapak ingat saya kan?” tanya Nasrun penasaran, sembari mengencangkan  peganagn tanganya pada Pak Hamid yang masih nampak bingung.
“ Saya Nasrun Pak Hamid,” ulangnya dengan mata berbinar-binar, butiran air mata mengalir perlahan-lahan embasahi pipinya.
Sementara Pak Hamid terus memandang dengan tatapan yang tajam, sambil mengingat-ingat lelaki muda yang sekarang ada di hadapanya. Kemudian terbatuk, tanganya perlahan di lepaskan dari genggaman anak muda itu.
“ Maaf nak Nasrun, Bapak belum ingat ...denganmu, mungkin karena usiaku yang beranjak tua ini jadi sering lupa. Maafkan Bapak ya Nak,” jawab Pak Hamid penuh ketulusan.

Kemudian pemuda itu memegang kedua lengan Pak Hamid, sambil berkata,” Izinkan saya bercerita biar Bapak ingat saya.” Pak Hamid hanya mengangguk tanda ia setuju.
“ Dua tahun yang lalu di masjid ini ada seorang pemuda yang sedang mencari pekerjaan pingsan setelah shalat dzuhur karena sudah tiga hari tidak makan, tidak ada yang peduli denganya kecuali seorang tua pemulung yang sedang ikut shalat jamaah. Dialah yang mengoleskan minyak kayu putih di hidung pemuda itu, lalu siuman. Kemudian pemulung itu memberinya makan, nasi yang seharusnya siang itu ia makan, dan hanya itu satu-satuny bekal yang dimiliki. Lalu pemuda itu kembali sehat terus pamit melanjutkan perjalanan. Pak Tua itu pun kembali ke tempat ia mencari barang-barang bekas,” Nasrun tak kuasa meneruskan ceritanya, ia mengis sejadi-jadinya.  Sementara Pak Hamid hanya diam terpaku sambil mengingat peristiwa itu.
“ Lalu beberapa bulan kemudian pemuda itu mendapatkan pekerjaan, dan hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun pemuda itu alhamdulillah lumayan penghidupanya. Pemuda yang di tolong pemulung itu adalah saya Pak Hamid,” kembali pecah tangis Nasrun seraya merangkaul dan mencium Pak Hamid. Suasana sangat mengaharukan, mereka bereplukan untuk beberapa saat sampai tangis Nasrun reda. Pak Hamid pun ikut merasakan kebahagiaan. Dan barulah di ingat akan peristiwa yang sudah dua tahun berlalu.


===รจ>>>>Argamakmur 1 Nopember 2017





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis