Sutan Takdir Alisyahbana Sang Maestro

Sutan Takdir Alisyahbana, beliau lahir pada tanggal  11 Februari 1908 dari seorang ibu yang bernama Puti Samiah di daerah Natal Sumatra Utara. Ibunya berdarah Minangkabau tetapi sudah lama menetap di daerah ini, ia juga merupakan keturunan Rajo Putih salah seorang raja  Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Ayahnya Raden Alisyahbana bergelar Sutan Arbi adalah seorang guru. STA merupakan budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia.

Masa kecilnya tidak suka membaca, hari-harinya banyak dihabiskan bermain di luar rumah. Setelah tamat Kweek school di Bukit  Tinggi ia melanjutkan pendidikan di Bandung. Perjalanan  Natal-Bandung selama tujuh hari tujuh malam saat liburan inilah yang menumbuhkan  minat baca dan bakat menulisnya. Hal ini terbukti dengan rampungnya satu novel karyanya yang amat terkenal  dengan judul Layar Terkembang sebagi  tokoh utama adalah Yusuf. Novel ini menggambarkan pengalaman pribadi STA selama perjalanan itu.

Membina rumah tangga dengan seorang gadis bernama Raden Ajeng Rohani Daha pada tahun 1929 dan istri pertama wafat pada tahun 1935, setelah itu STA menikah sebanyak dua kali. Dari pernikahan dengan tiga istrinya di karuniai sembilan putra dan putri.

Sebagai seorang sastrawan STA sangat produktif, terbukti dengan lahirnya karya-karya besar beliau. Beberapa novel yang terkenal adalah Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Grotta Azzuro ( tiga jilid, 1970 dan 1971), dan Kalah dan Menamg (1978). Dengan gaya bahasa yang sangat apik sehingga membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri setiap peristiwa yang disajikan dalam karyanya. Selain novel masih segudang prestasi yang ditorehkanya dibidang sastra mulai dari kumpulan sajak, esai, bunga rampai, drama, dan bahkan  filsafat.

Bahkan beliau juga menjadi peterjemah karya sastra asing, antar lain  Nelayan di Laut Utara ( karya Pirre Loti 1994), Nikudan Korban Manusia ( karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Berprofesi sebagai editor  STA juga menghasilkan karya yang monumental yaitu: Kreativitas ( kumpulan esai, 1984) dan Dasar-dasar Kritis dan Tanggung Jawab Kita ( kumpulan esai, 1984).
STA juga  ahli Tatabahasa Indonesia, beliau  menelurkan karya besarnya yaitu Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia ( 1936), The Indonesian language and literature ( 1962)

Kariernya sangat beragam dari bidang satra sampai akademisi bahkan politik.  Di bidang sastra dan bahasa  STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka (1930-1933), mendirikankan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-142 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952), Konfrontasi (1954-1962). Sementara dibidang akademisi ia pernah menjabat beberapa jabatan penting dari mulai tingkat sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Bahkan pernah menjadi guru besar di Universitas Malaya Kualalumpur.
 STA juga merupakan seorang politikus, dimana ia pernah menjadi anggota parlemen dari salah satu partai politik saat itu.
Sebagai ahli dalam bahasa sudah barang  tentu punya perhatian yang besar terhadap perkembangan bahsa di tanah air. Beliau merupakan pencetus kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo pada tahun 1970 dan inisiator kongres bahasa-bahasa di kawasan Asia.


 Cita-cita terbesar STA yang belum terlaksana adalah keinginanya menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara, karena menurutnya bahasa melayu itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis