Seuntai Kasih

Seuntai Kasih
Oleh Kang Bari
8 Oktober 2017


Kediri , ya itulah alamat yang diberikan oleh Nenekku. Aku berharap bisa menemukan di sana. Semangatku tiba-tiba muncul kembali untuk menemukan ibuku . Setidaknya cerita dari orang-orang yang pernah mengenal sosok beliau. Karena di sana lah tempat tinggal keluarga besarnya. Maka aku harus ke sana.

Pesawat mendarat di Bandara Juanda pukul 13.00 , segera kucari taksi jurusan Bungur Asih nama terminal di Kota Surabaya. Lalu lintas  lumayan lancar saat masih di jalan tol, masuk jalan by pas mulai macet karena memang jam pulang sekolah. Sopir taksi beberapa kali menasehatiku untuk sabar, menghadapi kemacetan di jalan. Satu jam lima belas menit barulah memasuki pintu gerbang terminal, bergegas aku turun dari taksi.

Mencari bis jurusan Kediri tidak sulit, karena di pintu pemberangkatan sudah tertulis jurusan kota yang dituju. Setelah melewati ruang tunggu aku menuju tempat pemberangkatan, berharap segera dapat bis sesuai yang kuinginkan.  Apa aku harus naik patas atau ekonomi? akirnya aku naik patas saja, biar cepat sampai dan bisa istirahat sebab penumpangnya dibatasi.

Aku memilih duduk di dekat jendela, berharap tidak terganggu dan nyaman bisa sedikit bersandar pada kaca mobil. Berselang beberapa menit duduk juga disampingku seorang ibu, kemudian kutanya kemana tujuanya. Ternyata ibu itu mau ke Tulung Agung. Dalam hati bertanya kenapa tidak ketemu orang yang mau ke Kediri. Tak lama kemudian bis pun berjalan, kondektur tanya tujuan. Secarik tiket bis di sodorkan sambil berucap tiga puluh ribu mas, ku ambil uang kertas di dompet lima puluh ribu kemudian di kembalikan sisanya.

Teriakan kenek bis membangunkan tidurku, ternyata aku lelap tudur sejak dari terminal tadi. Di pintu gerbang tertulis “ Selamat Datang di Terminal Kota Kediri”, segera kupercepat langkahku turn dari bis. Kerumunan penumpang diterminal sini tidak sepadat di Bungur Asih. Aku istirahat sejenak di musola terminal untuk menunaikan solat jamak takhir. Air mataku mengalir tak terbendung selama solat, kubayangkan wajah ibuku. Sejuta rasa bertumpuk dianganku, sehingga begitu panjangnya doa tadi. Seusai solat kubuka catatan alamat ibu yang diberikan ayah.

Bergegas kutemui satpam terminal sambil menunjukkan alamat yang tertlis di kertas. Alhamdulillah ternyata tidak jauh menurut ketenganya,  dibantu satpam mencari travel jurusan desa ibu tinggal. Sejenak kemudian travel melaju kencang di jalanan menuju Kecamatan Mojoroto. Sepanjang perjalanan aku banyak diam, angan-aganku berkecamuk, air mata terus membasahi pipi. Detik-detik pertemuan dengan orang yang mengukir jiwa ragaku semakin dekat, jantungku bernyut tidak menentu. Ya alloh ...kuatkan hambaMu ini....doaku dalam hati.
Mobil berhenti de depan rumah joglo , “Ada tamu Bu,”teriak sopir travel. Keluar seorang wanita paroh baya, tatapanya sejuk, rambutnya menjuntai sepinggang.  Seraya menjawab, “ Mangga,”. Serasa tak sangup berdiri dari tempat duduk. Tapi, aku harus kuat....harus kuat. Bismillah....akhirnya aku keluar dari mobil....wanita itu  memandang penuh selidik, dariujung rambut sampai ujung kaki. Tiba-tiba wanita itu memelukku, tangisnya pecah.
 “Kamu pasti Budi,” semakin erat dia memelukku. Aku tak sanggup menjawab, bibirku terkunci hanya air mata yang tak terbendung. Masih dalam pelukanya, aku dibimbing masuk rumah. “ Duduk sayang,” pintanya padaku. Sejenak wanita itu menyiapkan air minum, sementara aku duduk dalam kebingungan.

                Seusai solat maghrib kami duduk di ruang keluarga, wanita paruh baya itu memulai cerita.
 “  Aku kakak dari Nurhayati, dia  tinggal di Desa Gedang Sewu Bud,” cerita wanita paruh baya itu yang ternyata adalah budeku.  Karena sudah gelap maka malam itu aku nginap di rumah bude. Besuk pagi rencana diantar sepupuku melanjutkan perjalanan ke rumah ibu. Malam terasa panjang, jarum jam  seola-olah tak mau berjalan, hari sudah larut tetapi mata ini juga tidak mau terpejam. Adzan subuh membangunkanku dari mimpiku, mata masih terasa  pedih, kepala terasa pusing. Solat subuh kutunaikan di masjid sebelah rumah bude.
                Sesudah sarapan kami memulai perjalanan ke Desa Gedang sewu, dengan sepeda motor bersama anak bude. Sepanjang perjalanan tidak banyak bertemu dengan kendaraan lain, memang hari masih sangat pagi. Menyusuri pinggiran Sungai Ngrowo kurang lebih 30 menit sampailah di sebuah rumah ber cat hijau muda dengan halaman yang bersih, tanaman bunga yang rapi. Motor berhenti , sepupuku mengucapkan salam. Ada yang menjawab salam dari dalam, suarany persisi suara ayahku, tapi ini suara wanita. “ Masuk mas Tio,” serunya, dari dalam rumah muncul seorang gadis.


                Kami masuk, mengambil tempat duduk menghadap ke dalam. Muncullah seorang wanita paruh baya, perawakan persis bude. Mulutku terkunci, hatiku goncang, tanganku gemetar. Tiba-tiba anak bude memperkenalkan aku pada wanita yang dia sebut bulik itu. Seketika gelap pandanganku. Ketika aku sadar , sudah terbujur di dipan, wanita tadi mengusap-usap kepalaku. Kedamaian dan kesejukkan yang kurasakan. “ Nak bangunlah, aku ibumu”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis