Seuntai Kasih
Seuntai Kasih
Oleh Kang Bari
Kediri , ya itulah alamat yang
diberikan oleh Nenekku. Aku berharap bisa menemukan di sana. Semangatku
tiba-tiba muncul kembali untuk menemukan ibuku . Setidaknya cerita dari
orang-orang yang pernah mengenal sosok beliau. Karena di sana lah tempat
tinggal keluarga besarnya. Maka aku harus ke sana.
Pesawat mendarat di Bandara
Juanda pukul 13.00 , segera kucari taksi jurusan Bungur Asih nama terminal di
Kota Surabaya. Lalu lintas lumayan
lancar saat masih di jalan tol, masuk jalan by pas mulai macet karena memang
jam pulang sekolah. Sopir taksi beberapa kali menasehatiku untuk sabar,
menghadapi kemacetan di jalan. Satu jam lima belas menit barulah memasuki pintu
gerbang terminal, bergegas aku turun dari taksi.
Mencari bis jurusan Kediri tidak
sulit, karena di pintu pemberangkatan sudah tertulis jurusan kota yang dituju.
Setelah melewati ruang tunggu aku menuju tempat pemberangkatan, berharap segera
dapat bis sesuai yang kuinginkan. Apa
aku harus naik patas atau ekonomi? akirnya aku naik patas saja, biar cepat
sampai dan bisa istirahat sebab penumpangnya dibatasi.
Aku memilih duduk di dekat
jendela, berharap tidak terganggu dan nyaman bisa sedikit bersandar pada kaca
mobil. Berselang beberapa menit duduk juga disampingku seorang ibu, kemudian
kutanya kemana tujuanya. Ternyata ibu itu mau ke Tulung Agung. Dalam hati
bertanya kenapa tidak ketemu orang yang mau ke Kediri. Tak lama kemudian bis
pun berjalan, kondektur tanya tujuan. Secarik tiket bis di sodorkan sambil
berucap tiga puluh ribu mas, ku ambil uang kertas di dompet lima puluh ribu
kemudian di kembalikan sisanya.
Teriakan kenek bis membangunkan
tidurku, ternyata aku lelap tudur sejak dari terminal tadi. Di pintu gerbang
tertulis “ Selamat Datang di Terminal Kota Kediri”, segera kupercepat langkahku
turn dari bis. Kerumunan penumpang diterminal sini tidak sepadat di Bungur
Asih. Aku istirahat sejenak di musola terminal untuk menunaikan solat jamak
takhir. Air mataku mengalir tak terbendung selama solat, kubayangkan wajah
ibuku. Sejuta rasa bertumpuk dianganku, sehingga begitu panjangnya doa tadi.
Seusai solat kubuka catatan alamat ibu yang diberikan ayah.
Bergegas kutemui satpam terminal
sambil menunjukkan alamat yang tertlis di kertas. Alhamdulillah ternyata tidak
jauh menurut ketenganya, dibantu satpam
mencari travel jurusan desa ibu tinggal. Sejenak kemudian travel melaju kencang
di jalanan menuju Kecamatan Mojoroto. Sepanjang perjalanan aku banyak diam,
angan-aganku berkecamuk, air mata terus membasahi pipi. Detik-detik pertemuan
dengan orang yang mengukir jiwa ragaku semakin dekat, jantungku bernyut tidak
menentu. Ya alloh ...kuatkan hambaMu ini....doaku dalam hati.
Mobil berhenti de depan rumah
joglo , “Ada tamu Bu,”teriak sopir travel. Keluar seorang wanita paroh baya,
tatapanya sejuk, rambutnya menjuntai sepinggang. Seraya menjawab, “ Mangga,”. Serasa tak
sangup berdiri dari tempat duduk. Tapi, aku harus kuat....harus kuat.
Bismillah....akhirnya aku keluar dari mobil....wanita itu memandang penuh selidik, dariujung rambut
sampai ujung kaki. Tiba-tiba wanita itu memelukku, tangisnya pecah.
“Kamu pasti Budi,”
semakin erat dia memelukku. Aku tak sanggup menjawab, bibirku terkunci hanya
air mata yang tak terbendung. Masih dalam pelukanya, aku dibimbing masuk rumah.
“ Duduk sayang,” pintanya padaku. Sejenak wanita itu menyiapkan air minum,
sementara aku duduk dalam kebingungan.
Seusai
solat maghrib kami duduk di ruang keluarga, wanita paruh baya itu memulai
cerita.
“ Aku kakak dari Nurhayati, dia tinggal di Desa Gedang Sewu Bud,” cerita
wanita paruh baya itu yang ternyata adalah budeku. Karena sudah gelap maka malam itu aku nginap
di rumah bude. Besuk pagi rencana diantar sepupuku melanjutkan perjalanan ke
rumah ibu. Malam terasa panjang, jarum jam
seola-olah tak mau berjalan, hari sudah larut tetapi mata ini juga tidak
mau terpejam. Adzan subuh membangunkanku dari mimpiku, mata masih terasa pedih, kepala terasa pusing. Solat subuh
kutunaikan di masjid sebelah rumah bude.
Sesudah
sarapan kami memulai perjalanan ke Desa Gedang sewu, dengan sepeda motor
bersama anak bude. Sepanjang perjalanan tidak banyak bertemu dengan kendaraan
lain, memang hari masih sangat pagi. Menyusuri pinggiran Sungai Ngrowo kurang
lebih 30 menit sampailah di sebuah rumah ber cat hijau muda dengan halaman yang
bersih, tanaman bunga yang rapi. Motor berhenti , sepupuku mengucapkan salam.
Ada yang menjawab salam dari dalam, suarany persisi suara ayahku, tapi ini
suara wanita. “ Masuk mas Tio,” serunya, dari dalam rumah muncul seorang gadis.
Kami
masuk, mengambil tempat duduk menghadap ke dalam. Muncullah seorang wanita
paruh baya, perawakan persis bude. Mulutku terkunci, hatiku goncang, tanganku
gemetar. Tiba-tiba anak bude memperkenalkan aku pada wanita yang dia sebut
bulik itu. Seketika gelap pandanganku. Ketika aku sadar , sudah terbujur di
dipan, wanita tadi mengusap-usap kepalaku. Kedamaian dan kesejukkan yang
kurasakan. “ Nak bangunlah, aku ibumu”.

Komentar
Posting Komentar