Potret

Potret
oleh Kang Bari

Di persimpangan jalan pakaianya compang-camping, langkah tertatih-tatih, tas cangklong lusuh tergantung di pundak, topi kumuh melindungi dari sengatan terik matahari. Di lampu merah menengadahkan tangan pada setiap pengendara kendaraan, mengaharap iba para hamba Tuhan. Koin belum tentu dia dapatkan, terkadang umpat dan makian yang di berikan. Suara sirine menghentikan langkahnya,  satu butir koin pun belum  didapatkan. Satpol PP merazia, membawanya ke rumah pembinaan. Sebulan kemudian dilepaskan.
       
Di kolong jembatan rumah kardus jadi pemandangan, tempat menikmati indahnya mimpi malam. Memulai pagi menabur harapan, mengais hidup di tengah hingar-bingarnya metropolitan. Tak peduli bahaya mengancam, banjir, longsor bahkan amblasnya jembatan. Mimpi indahnya buyar dipenggal razia tengah malam dengan dalih pnertiban.
       
Di tempat pembuangan akhir wajah-wajah pasrah mengais rizqi. Berharap  berkah dari sisa- sisa sampah. Tubuh rapuhnya tak menyurutkan langkah, di antara gundukan limbah. Satu demi satu kardus, plastik, besi dan timah berhasil  dikumpulkan. Berharap jadi pundi-pundi rupiah. Ketika tubuh lelah terlelap dalam mimpi indah, si jago merah menumpahkan amarah. Membakar musnah semua yang ada.
     

Di trotoar jalan utama berderet lapak kaki lima, dengan atap biru atau jingga. Menungu hadirnya penikmat selera, menawarkan sejuta rasa. Dari senja hingga malam tiba. Anak-anak sampai lansia. Hujan tiba-tiba menghentikan  sejuta asa. Gedobrak-gedebruk tendangan sepatu pamong praja membuyarkan pujasera. Teriakan histeris menjadi penggantinya.


Di hamparan lumpur tubuh bungkuk ayunkan cangkul, tanam padi, terong dan muntul. Ini tradisi turun temurun, walau sejengkal tanah dan kebun. Subsidi pupuk dan bibit  tak lagi muncul, Swasenbada pangan harus dipikul. Musim tanam hujan tak turun, musim panen harga mudun.


Di gedung instansi apel pagi menjadi tradisi bagi para abdi negeri. Menempel sidik jari untuk tertibkan diri. Kerja sebentar terus pergi karena urusan pribadi. Ngobrol sana-sini menunggu hari. Tanggal muda terima gaji, tinggal kwitansi tidak berisi sudah potong sana-sini. Bayar kridit dan koperasi
       

Di gedung mewah duduk rapi pakaian safari, menikmati secangkir kopi. Sambil bicara jatah kursi, bagi-bagi ketua komisi. Berebut ketua fraksi, untuk menggiring sebuah petisi. Hak angket jadi tradisi untuk penuhi selera partai. Lempar kursi juga terjadi jika suara tak di sepakati. Politik dagang sapi bukan sesuatu yang siri.

=====>>>>>Argamakmur 12 Oktober 2017

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis