Mahar sebutir apel

Mahar sebutir apel
Diceritakan ulang oleh Kang Bari



Terik matahari di Kota Kuffah siang itu sangatlah menyengat, membuat siapapun yang berjalan kaki pasti merasa kehausan. Namun demikian tak menyurutkan langkahku menyusuri jalanan  pinggiran kota. Memilih  jalan yang berada di sepanjang aliran sungai sebagi alternatif untuk pengurangi sengatan matahari. Langkahku terhenti melihat sebutir apel mengapung , rasa dahaga di tenggorokan membisikkan langkah ke arahnya. Sedikit mengangkat celana menghindari basah, kaki melangkah ke sungai dimana sebutir apel mengapung. Sekejap saja apel sudah berpindah ketangan.

Tenggorakan yang kering dan perut keroncongan membuatku tak berpikir panjang, apel di tangan langsung saja hinggap diantar gigi geraham. Manisnya buah apel menyentak kesadaran,” Astaghfirullah, milik siapa apel ini,” gumamku. Kunyahan buah apel berhenti seketika. Kini aku harus mencari tahu siapa pemilik buah ini. Darimana aliran sungai ini berasal sehingga membawa sebutir buah apel.

Akhirnya kuputuskan untuk kembali berjalan kearah hulu sungai, dengan harapan dapat menemukan pemilik buah tersebut. Kemudian akan minta kerelaanya buah yang sudah termakan.  Cukup jauh perjalananku menyusuri hulu sungai baru nampaklah sebidang kebun apel  yang tumbuh subur dan buahnya lebat serta rantingnya menjalar ke dekat sungai. Tidakheran kalau buahnya sering jatuh ke sungai dan hanyut terbawa aliaran air.

Aku segera mencari pemilik kebun. Benar ada seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut, segera aku mendekat seraya berkata,”Wahai Tuan, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini?saya sudah menggigit apel ini, apakah Engkau memaafkan saya?” sembari kutunjukkan apel yang telahtergigit tadi.

Diluar dugaan penjaga kebun itu berkata,” “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya pemiliknya cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”

Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometr, aku tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya sampai juga di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah pemilik kebun akan memaafkanku. Perasaan takut sang pemilik kebun tak meridoi apel yang telah jatuh ke sungai dan kugigit sebagian.

Ku ketuk pintu, seraya,” Assalaamu’alaikum wr.wb”. seorang pria tua, pemilik kebun apel membuka pintu. “ Wahai Tuan, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” sambil kutunjukkan sisa apel tersebut.

Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapanku. Lalu, diriku pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.”
 Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, kutannyakan apa yang harus saya  lakukan agar tindakanku  itu dimaafkan.
“Saya tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” pria tua itu menjawab. 
“Persyaratan apa itu?” tanyaku harap-harap cemas.
“Kau harus menikahi putriku,” kata pemilik kebun yang mengagetkanku. Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikirku.
“Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya  jika menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanyaku tak percaya. 
“ Betul anak muda, kamu harus menikahi anak gadisku, tetapi ketahuilah bahwa putriku itu seorang gadis cacat, dia buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Dia tak mampu berdiri apalagi berjalan. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, anak muda,” kata pria tua itu.

Rasanya seperti disambar petir di siang bolong mendengar penjelasan pak tua itu. Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ku tanggung hanya karena menggigit sebutir apel yang kutemukan di sungai. Hatiku betul-betul kacau, namun diriku tak punya pilihan lain. Ya Alloh , aku tak ingin berdosa mengambil hak orang lain. Haruskah aku menikah dengan gadis yang cacat sperti itu. Berilah yang terbaik untukku, kalau memang jodoh. Akhirnya kujawab, “ Insya Alloh saya terima permintaan Tuan demi halalnya buah apel yang sudah saya makan”.
“ Baiklah, anak muda. Siapa namamu”.
“ Tsabit bin Ibrahim , Tuanku.”
 “ Nanti setelah dirimu aku nikahkan dengan putriku, maka temuilah dia di kamarnya setelah bakda solat ‘isyak,’ tambahnya.

Malam setelah solat isyak aku pun menuju kamar tempat istri, meskipun dengan langkah yang amat berat da hatiku bergelora, terus saja aku melangkah. Sesampainya di depan pintu, kuucapkan salam meskipun kata bapaknya istriku bisu dan tuli.
Betapa aku sangat terkejut tiba-tiba ada jawaban salam dengan suara yang lembut dan merdu lalu  dari balik pintu, seraya munculah seorang gadis cantik jelita tidak lumpuh dan tidak buta laksana bidadari tanpa cacat sedikitpun. Langkahku tertahan, mematung dalam ketidak percayaan dengan apa yang  ada di depanku. Segera aku mundur satu langkah, mungkin aku salah kamar. Tetapi gadis itu tiba-tiba,” Aku istrimu , masuklah,” seraya meraih tanganku, membimbingku masuk dalam kamar. Mendudukkan aku diatas ranjang yang sngat mewah.
“ Apa yang dikatakan Ayahku tentang aku?’
“ Ayahmu mengatakan kau adalah seorang gadis yang buta”.
“ Benar kata Ayahku, aku tidak pernah melihat sesuatu yang tidak diridoi Alloh,”jawab gadis itu.
“ Ayahmu mengatakan kamu gadis bisu”.
“ Ayahku berkata jujur, aku tidak pernah mengucapkan kata-kata yang membuat Alloh murka,” jawabnya.
“ Tapi ayahmu juga mengatakan kamu tuli”.
“ Benar, aku tidak pernah mendengar satu kalimatpun kecuali di dalamnya terdapat rido Allah”.
“ Ayahmu juga mengatakan kamu lumpuh”
“ Ayahku tidak berdusta, tidak pernah sekalipun aku melangkah ke tempat yang dimurkai Alloh,” jawab gadis itu penuh pesona.
Ya Alloh maha Suci Engkau dan Maha Terpuji.




=====รจ>>>>>Argamakmur 20 Oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nenek Bariyah Wanita Tangguh

Hamid

Pelukis