Biar abadi
Biar abadi
Oleh Kang Bari
Halaman parkir Bank BRI cukup
padat, aku pilih parkir sebalah kanan pintu masuk mencari tempat yang agak
sedikit longgar. Sejenak membuka jaket dan helm untuk mengurangi gerah, jarum
jam sudah menunjukkan pukul 9.50.
Saat telepon tadi Sri akan bertemu di
sini sekitar pukul 10.00, barang kali masih dalam perjalanan. Celingukan
mencari sekitar halaman siapa tahu Dia sudah ada, namun juga tidak terlihat.
Bisa jadi memang sudah lupa dengan wajahnya, karena sudah cukup lama tidak
bertemu semenjak sama-sama menyelesaikan pendidikan menengah di Kota Samarinda
ini.
Kuambil telepon genggam di
kantong celana, belum sempat membuka nomor tiba-tiba HP sudah berdering. “
Assaalamu’alaikum,” dari suaranya jelas Sri, segera aku jawab. Kemudian
kutanyakan sudah dimana posisinya, trenyata kami berdiri saling membelakngi
Cuma terhalang beberapa kendaraan roda dua di halaman parkir. Dengan berbekal
ingatan masa SMA celingukan kami saling menerka, dari warna jaket yang Sri
pakai saat itu akhirnya ketemu juga.
Sikapnya , gaya bicara, senyum
dan lesung pipinya tidak ada yang berubah. Dia bintang kelas saat itu,
tulisanya sangat rapi sperti gaya dandananya. Kutu buku dan hobi menulis,
majalah dinding sekolah selalu dihiasi oleh hasil coretan tanganya. Cerpen
hasil karyanya selalu di tunggu teman-teman sekolah, alur ceritanya mengalir
enak dinikmati.
“ Apa kabar Mas,” ujarnya membuyarkan lamunanku.
“ Alhamdulillah baik, bagaiman sebaliknya?” balasku.
Kami terlibat perbincangan sekitar kabar selama tidak
bertemu, dia melanjutkan studi di Samarinda sementara aku ke Makasar.
Tidak
membuang waktu kami berdua mencari tempat minum untuk lebih nyaman bercerita,
memilih kedai aneka jus yang berseberangan jalan dengan tempat bertemu tadi.
Dua gelas jus sudah dipesan , suasana
kota Samarinda yang cukup panas membuat tenggorokan ini terasa kering. Seolah
membuatku tak sanggup bicara dihadapan gadis lugu ini , terasa pita suara dan
lidah ini kaku. Jus yang terhidang pun tidak sanggup meredakan panas dingin perasaan.
Sebenarnya
ingin sekali membelai rambutnya yang panjang terurai. Tapi tidak, ia pasti
malu. Keinginan itu aku tepis jauh-jauh, lagi pula Sri adalah wanita dari
keturunan orang terhormat di kota ini. Tidak mungkin aku melakukan, meski
sangat ingin. Satu jam bersamanya serasa satu detik saja. Tidak banyak
kata-kata yang terucap dari kami berdua, hanya pandangan senyuman yang banyak
menghiasi suasana ini.
“ Syukurlah liburan ini Aku bisa pulang ke Samarinda dan
bisa bertemu denganmu,”
“ Memang Mas , kapan mau balik ke Makasar?’ sela Sri.
“ Dua hari lagi,” jawabku
Keinginan untuk menyatakan isi hati kembali bergejolak,
seperti saat malam perpisahan di SMA
tiga tahun yang lalu. Lidah ini kaku dan kelu, kenapa ini terulang lagi. Lebih
sulit dari pada mempertahankan ujian skripsiku di hadapan dosen penguji.
Akhirnya
ku jabat tangan Sri hanya dengan ucapan selamat berpisah sampai jumpa.
Kubiarkan perasaan ini tersimpan didalam hati, biar tetap suci dan abadi.
====è>>>>>>Argamakmur 11 Otober 2017

Komentar
Posting Komentar