KUDA HITAM

KUDA HITAM
Oleh Kang Bari
26September 2017

Mengayuh kuda hitam  menyusuri jalan  yang membelah perkebunan teh peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang sekarang dikelola BUMD di kaki gunung Wilis sambil menikmati sejuknya udara pagi hari dan hangatnya sinar mentari pagi. Kondisi jalan tanah  yang berbelok-belok dan naik turun membuat badan berkeringat meskipun sinar mentari belum menyengat. Sambil sesekali berpapasan dan bertegur sapa dengan pekerja perkebunan itu.
 " Berangkat sekolah nak " tegur seorang bapak sambil menggendong keranjang tempat daun teh muda yang dipungut dari kebun. " iya pak"  jawabku sambil sedikit menundukkan kepala sebagai rasa hormat kepada yang lebih tua . Keramahan penduduk desaku sangat terasa dimana-mana. Tegur sapa dan senyuman selalu menghiasi setiap berpapasan dengan sesama warga, baik yang sudah kenal ataupun penduduk baru yang belum saling mengenal.

Tas cangklong warna biru yang sudah mulai memudar setia menemani perjalanan rutinku ke sekolah, menggelayut dipundak dengan ornamen tambalan disana-sini, agar tetap terlihat rapi. Tempat bersemayamnya alat-alat tulis dan segala keparluan sekolah. Gemercik air dipinggiran jalan selalu mengiringi perjalanan , bagaikan simponi alam yang menyenandungkan lagu kedamaian , mengalunkan melodi keindahan. Sepatu hitam yang sudah pudar , lobang di ujungnya dengan setia membungkus telapak kaki kurusku yang menghitam karena terbakar sinar matahari dan bergelut dengan lumpur sawah setelah pulang sekolah. Kicauan burung yang mendendangkan irama syahdu mengiringi ayunan kaki diatas pedal sepeda yang mulai cuwil-cuwil karena dimakan usia. Sadel sepeda warna kecoklatan mulai miring bukan sebab menahan beban tubuh , tetapi karena saking umurnya sudah kedaluarsa.

Mentari mulai meninggi , seiring perjalananku meninggalkan perkebunan teh yang mulai ramai oleh para pemetik daun. Terlihat di ujung jalan ibu-ibu menggendong keranjang besar dan bertopi lebar menjadi pemandangan yang sangat indah. Gelak tawa nereka terdengar sayup-sayup dari ruang dengarku yang semakin menjauhi lokasi perkebunan menuju jalan beraspal. Semilir angin pagi bagaikan dentingan gitar mengiringi kuda hitamku meninggalkan area perkebunan teh, tidak terasa perjajalanan sudah memasuki menit ke limapuluh.

 Memasuki jalan beraspal yang ramai dengan lalulalang kendaraan, baik roda dua atau roda empat. Kebisingan suara kenalpot mobil dan sepeda motor seolah-olah lantunan musik cadas. Menghentak dan memekakkan telinga  setiap pengguna jalan. Suara klakson laksana tetompet perang , membakar semangatku untuk lebih cepat mengayuh kuda hitamku. Menyelinap diantara kepadatan kendaraan. Menembus kemacetan . Kakiku masih menari-nari diatas pedal memburu waktu mengejar harapan. Sesekali tanganku mengerem laju kuda hitam untuk menghindar  pantat kendaraan di depan. Sambil menyeka dahi yang mulai basah dengan ketingat, ku teguk air putih untuk menghilangkan dahaga yang mulai menyerang tenggorokan, terasa mengalir keseluruh urat nadi. Terus kupacu kuda hitamku melaju bersama putaran waktu .

Tampak dari kejauhan polisi lalu lintas mengatur pengendara sepeda untuk menyeberang zebra cross. Rasa capek dan letih terobati , tinggal hitungan menit aku sampai disekolah. Kerumunan teman-teman sekolah mengharuskan kakiku memperlambat ayunan pedal si kuda hitam.
Wajah ceria, gelak tawa menghiasi sudut-sudut sekolah, menecah kesunyian hati menggugah gairah belajar pemuda penerus bangsa ,generasi emas calon pemimpin peradaban dunia.
Aku turun dari kuda hitam , mencarikan tempat yang representatif untuk istirahat sang kuda. Alhamdulillah Ya Alloh Egkau telah melindungi perjalananku pagi ini. Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim aku langkahkan kakiku, kuat tekadku menuju tempat penggemblengan pendadaran.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Abadi

Hamid

Pelukis