JAGONG*
JAGONG*
Oleh Kang Bari
29 September 2017
“ Pak, jangan lupa besuk ada undangan jagong tempat Pak Sastro,” Bu Suminem mengingatkan suaminya.
“ Punya hajat apa to Bu, Pak Sastro?,” sahut Pak Jono.
“ Menikahkan putri sulungnya Pak,” jawab Bu Suminem.
“ Ya, nanti biar mobilnya di servis dulu, biar besuk lancar
perjalanan kita,” imbuh Pak Jono.
Begitulah sepenggal kisah dalam masyarakat yang menempatkan jagong sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan mereka.
Jagong berasal
dari bahasa Jawa yang artinya adalah datang duduk-duduk di rumah orang yang
punya hajat.
Jagong merupakan tradisi masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah,
begitu juga dengan masyarakat dimana aku sekarang tinggal. Pada umumnya
penduduk di sini adalah warga transmigrasi bedol desa dari Wonogiri. Areal pemukiman mereka tergenang proyek bendungan Gajah
Mungkur pada tahun 1979. Hingga kini masih mempertahan adat kebiasaan yang
berasal dari kampung halaman. Walaupun
keberadaanya di daerah baru ini sudah berlangsung selama 37 tahun.
Bulan-bulan tertentu dalam perhitungan tahun jawa biasanya diyakini sebagai bulan baik. Sehingga dipakai untuk melaukan hal-hal yang
penting, seperti mendirikan rumah, sunatan, dan pernikahan. Ada juga
bulan-bulan yang diyakini membawa sial yaitu bulan Suro, Mulud, Poso, dan Lungkang. Empat bulan ini tidak lazim dipakai untuk
melaksanakan hal-hal tersebut diatas, karena akan membawa sial.
Perayaan pernikahan atau pesta yang lain biasanya mengundang
sanak saudara dan kerabat baik secara lisan yang disebut jawilan atau dengan tertulis yang mereka sebut ulem. Undangan biasanya di sampaikan satu minggu sebelum hari
pelaksanaan. Rangkaian pesta di awali dari hal yang demikian dengan bergotong
royong melibatkan seluruh warga kampung. Kebersamaan sangat terasa saat – sat
sperti ini, mereka terlibat langsung tanpa memandang status soial. Dari
mempersiapkan kayu bakar, mendirikn tarup,
membuat kue , dan membuat dekorasi. Semua bekerja dengan sukarela dalam
kesederhanaan ala orang desa, mungkin ini tidak kita temui pada masyarakat
perkotaan yang modern dan heterogin.
Pada hari perayaan itulah ,datang tamu-tamu yang sudah
diundang (jagong). Disuguh hiburan
tradisional jawa yang memang masih diajarkan dikalangan masyarakat . Terkesan
sangat kental budaya jawanya meskipun sudah puluhan tahun pindah di Sumatra.
Para tamu laki-laki biasanya memberi amplop yang berisi uang sebagai sumbangan.
Kaum ibu, selain uang juga membawa tas
yang berisi beras, telur, mi atau kebutuhan dapur lainya. Hidangan sederhana
sudah disiapkan diatas meja tamu. Sambil
menikmati hidangan itulah digunakan sebagai ajang bersilaturahmi antar sesama
warga. Sambil menunggu makan mereka bercengkerama dengan santai. Sangat berbeda
dengan suasana pesta masyarakat perkotaan. Satu hal lagi, ketika pulang kaum ibu
diberi berkat yaitu oleh-oleh yang
berupa sebungkus nasi lengkap dengan lauk pauk dimasukkan dalam tas.
Jagong bagi
masyarakat ( keturunan) Jawa bukan sekedar seremonial tetapi merupakan bagian
dari kehidupan. Baik pribadi maupun secara umum, sehingga menjadi aib kalau
seseorang tidak hadir dalam acara pesta atau ewuh menurut istilah mereka.
Berawal dari inilah menimbulkan permasalah baru, karena ternyata jagong itu tidak gratis. Bagi warga yang berpenghasilan
pas-pasan saat bulan yang dianggap baik, terpaksa harus berhutang. Karena bisa
jadi dalam satu bulan itu ada enam bahkan
tujuh orang yang pesta (ewuh).
Sudah barang tentu akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung
terhadap perekonomian dan hubungan soaial meraka. Untuk kalangan menengah keatas
jagong adalah momen yang
ditunggu-tunggu karena baginya adalah prestise.
Komentar
Posting Komentar